Kisah Para Perempuan Pengangkut Barang di Peru Melawan Diskriminasi

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 13 Agustus 2018 | 17:51 WIB
Para porter perempuan di Inca Trail. (Jeff Heimsath/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Pegunungan Andes sangat memesona: baik sejarah, pemandangan, serta udaranya. Untuk mendapatkan keindahannya, Anda perlu bekerja keras. Namun, di Inca Trail, para porter lah yang melakukan sebagian besar pekerjaan.

Ketika turis memesan perjalanan dengan pemandu, mereka akan ditemani oleh penduduk lokal yang membawakan makanan, tenda, dan mengarahkan perjalanan.

Meski membawa muatan berat di atas medan yang menantang – rata-rata 13 ribu kaki di atas permukaan laut – adalah pekerjaan sulit, tapi ini merupakan cara terbaik untuk mendapatkan nafkah di daerah terpencil.

Sampai 2016, pekerjaan tersebut hanya boleh dilakukan oleh para pria.

Baca juga: Hikikomori, Penyakit Mental yang Membuat Warga Jepang Mengurung Diri

Miguel Angel Gongora, bersama dengan rekannya, Amelia Huaraya Palomino, dari Evolution Treks Peru, ingin mengubah sistem pariwisata seperti ini. Mereka melihat adanya seksisme: tidak hanya larangan bekerja untuk porter perempuan, tapi juga penganiayaan yang mereka dapatkan dari kuli laki-laki.

Gongora dan Huaraya lalu bekerja sama untuk melawan ketidakadilan tersebut.

Setahun kemudian, Evolution menjadi agen wisata pertama di Peru yang memperkerjakan porter perempuan. Mereka memberikan upah yang setara; menyediakan makanan, tenda, dan matras yang kualitasnya sama baik dengan klien; dan menawarkan pekerjaan kepada orang-orang yang tinggal di sepanjang jalur pendakian.

Para porter perempuan ini sering mengalami diskriminasi gender. (Jeff Heimsath/National Geographic)

Meskipun begitu, menciptakan kondisi stabil bagi para porter perempuan tidaklah mudah. Gongora dan Huaraya mengatakan, misogini yang mengakar di Peru, terlanjur menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang “lemah”, “rapuh”, tak mampu melakukan pekerjaan kasar, dan tidak cocok untuk mencari nafkah sendiri.

Berdasarkan data WHO, Peru menempati posisi ketiga sebagai negara dengan kasus kekerasan gender yang tinggi.

“Ketika ada perempuan yang bekerja dengan kami, beberapa orang mengatakan: ‘Itu sangat baik’, namun yang lainnya juga bilang: ‘Mereka akan mati. Mereka tidak akan bisa mencapainya’,” cerita Gongora.