Terkena Dampak Polusi, Bangunan Taj Mahal Terancam Diruntuhkan

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 13 Agustus 2018 | 19:20 WIB
Taj Mahal (Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id - Ada pepatah yang mengatakan bahwa Taj Mahal akan berwarna merah muda di pagi hari, putih susu saat malam, dan keemasan ketika bulan bersinar.

Sayangnya, campuran polusi dan manajemen yang buruk, kini telah membebani Taj Mahal dengan lapisan berwarna cokelat kekuning-kuningan selama 24 jam, setiap harinya.

Kesal dengan “kelesuan” upaya restorasi Taj Mahal, Mahkamah Agung India baru-baru ini meminta pemerintah untuk memilih memulihkan atau menghacurkan monumen bersejarah tersebut.

Baca juga: 9 Alasan Mengapa Perubahan Iklim Memicu Kebakaran di Berbagai Negara

Berlokasi di Agra, negara bagian Uttar Pradesh, Taj Mahal merupakan salah satu bangunan ikonik di dunia. Ia dibangun oleh kaisar Mughal, Shah Jahan, sebagai ungkapan kesedihan atas kematian istrinya, Mumtaz Mahal.

Taj dibuat dari marmer putih tembus pandang, yang dibawa ke Agra dari barat laut India, Rajashtan. Bangunan tersebut kemudian dihiasi dengan batu semimulia seperti giok, pirus, safir, lapis lazuli, dan carnelian.

Seluruh bagian, termasuk taman dan dinding batu di sekitarnya, berhasil diselesaikan pada 1653.

Dampak polusi

Selama empat abad, Taj Mahal telah menua dan menggelap sebagai hasil oksidasi alami – seperti marmer berkarat. Namun, kondisinya semakin memburuk akibat lingkungan yang tidak bersahabat.

Taj Mahal basah kuyup dalam hujan asam, dilapisi jelaga dari cerobong asap industri, serta terkikis oleh polutan atmosfer.

Polusi udara di kota-kota India memang sangat menakjubkan, termasuk Agra. Sama seperti beberapa kota di Asia, meningkatnya kepemilikan mobil telah menyebabkan lalu lintas melonjak dan polusi udara yang semakin parah. Udara kotor yang merembes dari kilang minyak Agra dan cerobong asap pun tak terelakkan.

Polutan-polutan tersebut – sulfur dioksida, gas-gas Nox, dan partikel berbasis karbon – semakin membuat kulit putih Taj Mahal mengikis. Memberikan kilau berwarna kekuningan.

Meskipun terdapat kawasan perlindungan seluas empat ribu mil persegi di sekitar lokasi, di mana emisi seharusnya dikontrol dengan ketat, foto-foto Taj Mahal tetap menunjukkan adanya kemerosotan selama beberapa tahun terakhir.

Batas emisi telah lama diabaikan para pengembang. Tumpukan sampah secara teratur dibakar di dekat bangunan. Kemudian, polusi dari sungai Yamuna memberikan tantangan lebih lanjut bagi Taj Mahal.

Penduduk lokal membakar sampah di pinggir sungai Yamuna yang dekat dengan Taj Mahal. (Donyanedomam/iStock)

Sampah yang tidak diolah serta limbah industri yang mengalir dari kota menciptakan perairan yang mengandung nutrisi. Itu kemudian terbawa angin dan mengendap di batuan Taj Mahal, memungkinkan mikroorganisme yang berasal dari sungai tersebut berkembang di permukaan dan membuat warna dinding menjadi hijau.

Diduga, kotoran serangga yang mengontaminasi sungai juga telah mempercepat kerusakan. Namun, dampak sulfur dan nitrogen dioksida yang berasal dari bahan bakar fosil tetap tidak boleh diabaikan.

Sejak 1998, para ilmuwan India telah mengeksplor berbagai metode restorasi. Sementara yang lainnya berusaha menghentikan proses perubahan warna di Taj Mahal. Salah satu upayanya adalah melapisi Taj Mahal dengan tanah liat basah. Itu diharapkan dapat mengurangi bahaya asam yang menyerang permukaan marmer, namun tampaknya, justru membuat situasi semakin buruk.

Pembaruan

Di London, 50 tahun setelah Taj Mahal selesai dibangun, Sir Christopher Wren merancang struktur yang serupa. Katedral St Paul yang diselesaikan pada 1711, dibuat dari batuan kapur berwarna terang, Portland Stone.

St Paul juga menderita hal yang sama seperti Taj Mahal – akibat hujan asam, jelaga, polutan atmosfer, dan proses penggelapan warna seiring bertambahnya usia. Namun, setelah 40 tahun dipantau oleh sekelompok geografer dan menggunakan teknik ilmiah seperti pengamatan berulang dengan penghitung mikro-erosi, tingkat pelapukan jadi lebih mudah dipahami.

Orang-orang tua di Inggris mungkin ingat kabut asap yang menyelimuti kota-kota di negara tersebut pada 1940 dan 1950-an. Pemasanan domestik selama empat ratus tahun, asap yang berasal dari kendaraan dan pembangkit listrik tenaga batu bara memungkinkan sulfur dioksida dan partikel karbon halus meracuni udara London.

Di udara dingin, terutama pada malam musim gugur, kabut asap semakin merusak dan mengikis batu kapur. Efeknya seperti meracuni paru-paru manusia.

Baca juga: Terlalu Lama Terpapar Polusi Udara Memicu Terjadinya Gagal Jantung

Ketika St Paul ditutup pada 1980an, diketahui bahwa tembok pembatas dan ukirannya telah hancur sepenuhnya. Meninggalkan permukaan batu penuh dengan kerak jelaga dan menyembunyikan rongga di bawahnya.

Meski begitu, proses pembersihan yang dilakukan secara hati-hati dan batu penggantinya telah melindungi warisan Sir Christopher Wren tersebut.

Perlu dilihat kembali apakah Taj Mahal bisa direstorasi dengan cara yang sama.

Taj Mahal adalah keajaiban dunia modern. Namun, harta nasional dan internasional ini membutuhkan tindakan cepat dan tegas jika tidak ingin kehilangan kilau legendarisnya.