Kisah Singa Laut yang Menjadi Korban Penembakan Para Nelayan

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 21 Agustus 2018 | 12:49 WIB
Singa laut. (Foto4440/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Setiap pagi, petugas Shedd Aquarium di Chicago, membunyikan lonceng dan meniup peluit agar Cruz – si singa laut dengan berat 225 pound – mengetahui bahwa jadwal sarapannya telah tiba.

Cruz tidak bisa melihat. Oleh sebab itu, petugas di akuarium bergantung kepada suara, sentuhan, dan aroma, untuk memandu Cruz di sekitar kandangnya.

Kisah Cruz bermula pada 2013, ketika tim penyelamat menemukannya terdampar di pantai di Santa Cruz, California. Mereka mengatakan bahwa singa laut itu tampak kelelahan, kelebihan berat badan, dan putus asa. Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah matanya – bagian kirinya berkabut sementara mata kanan hilang.

Cruz yang terluka kemudian dibawa ke Marine Mammal Center. Hasil sinar X menunjukkan bahwa beberapa pecahan logam bersarang di tengkoraknya. Cruz mampu bertahan meskipun ada satu ledakan senapan di kepalanya.

Baca juga: Siapa Sangka, Simpanse Juga Bisa Bermain Batu-Gunting-Kertas

Singa laut ini bisa kembali sehat, tapi karena dia tidak mampu lagi menjaga diri sendiri di alam liar, Shedd Aquarium pun memutuskan untuk mengambil dan merawatnya.

Kini, menurut penjaga akuarium, Cruz berkembang dengan pesat.

“Dia salah satu yang beruntung. Jika Cruz tidak terdampar si pesisir pantai, mungkin kami tidak akan bisa menemukannya,” kata Madelynn Hettiger, manajer akuarium.

Cruz yang kehilangan mata kanannya akibat penembakan yang dilakukan nelayan. (Marine Mammal Centre)

Korban penembakan

Tahun ini, lebih dari selusin mamalia laut yang dipenuhi peluru – termasuk lumba-lumba yang sedang hamil – terdampar di pantai-pantai AS.

Menurut NOAA Fisheries, badan perlindungan mamalia laut, sebanyak 700 singa laut ditemukan dengan luka tembak dan tusuk antara 1998 hingga 2017. Hanya segelintir pelaku yang bisa ditangkap – semuanya adalah nelayan.

Singa laut merupakan hewan yang cerdas. Ia mahir dalam ‘mencuri’ salmon, sarden, dan cumi-cumi yang sudah tertangkap di jaring nelayan. Ke mana pun nelayan pergi, singa laut akan mengikutinya.

“Anda tidak akan bisa lari darinya. Kami telah menghindarinya selama enam jam dan mereka tetap mengikuti. Enam jam! Tiga singa laut berada di sisi kapal kami,” kata Little, salah satu nelayan di Santa Cruz.

Ketika National Geographic bertanya kepada nelayan lain, apa yang bisa dilakukan agar singa laut berhenti mencuri tangkapannya, dia menjawab tanpa ragu: “Menembak dengan senapan”.

Sang nelayan, yang meminta dirahasiakan identitasnya karena takut dengan dampak hukum, mengatakan bahwa kehilangan ikan akibat singa laut dapat mengancam mata pencahariannya.

“Itu membuat frustasi. Terkadang Anda harus mencari ikan selama delapan jam, dan ketika akhirnya dapat, Anda melihat ikan-ikan itu dicuri oleh singa laut,” paparnya.

Para nelayan telah menggunakan berbagai cara untuk menyingkirkan singa laut. Di antaranya senjata paintball, “bom segel” yang merupakan bahan peledak berkekuatan rendah, hingga tenaga listrik.

Namun, menurut mereka, satu-satunya cara untuk menjaga singa laut tetap berada di teluk dan tidak mengganggu tangkapan mereka adalah rentetan peluru.

Dilindungi undang-undang

Sampai akhir 1950-an, para nelayan di pantai barat Amerika bebas menembak singa laut. Oregon bahkan membayar nelayan sebesar 10 dollar AS untuk satu singa laut yang mati.

Namun, memasuki 1960-an, jumlah populasi singa laut menurun drastis dan berada di ambang kepunahan. Melihat hal itu, International Union for Conservation of Nature, menetapkan status konservasi bagi singa laut dan memasukannya ke daftar hewan sangat langka.  

Kemudian, pada 1972, undang-undang perlindungan mamalia laut ditetapkan. Artinya, aksi perburuan dan penganiayaan mamalia laut dianggap ilegal. Ini membuat jumlah singa laut kembali meningkat. Dari yang tadinya 90 ribu pada 1975, menjadi 260 ribu pada 2014.

Baca juga: Fakta-fakta Megalodon, Hiu Purba Raksasa yang Hidup Jutaan Tahun Lalu

Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya populasi singa laut, aksi penembakan kembali terjadi. Dari 2003 hingga 2015, pusat rehabilitasi menemukan 165 singa laut dengan luka tembak di tubuhnya.

Singa laut yang berhasil selamat akan direhabilitasi, lalu dilepaskan kembali ke alam liar. Meski begitu, untuk beberapa kasus seperti Cruz, yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan hidup di akuarium atau kebun binatang.

Hukuman bagi pelaku penembakan adalah satu tahun pejara atau denda hingga 25 ribu dollar AS. Namun, pada kenyataannya, mereka sangat sulit ditangkap. Sejak 2003, hanya lima pelaku di California yang berhasil diadili atas aksi melukai dan membunuh singa laut.

Semua ini terjadi karena penembakan biasanya dilakukan di tengah laut, di mana tidak ada saksi mata. Satu-satunya bukti yang tersisa hanya peluru di tubuh singa laut yang akhirnya terdampar di pesisir beberapa hari atau minggu setelahnya.