Nationalgeographic.co.id - Lima ribu tahun lalu, di lingkungan Afrika yang berubah-ubah, masyarakat awal berkumpul di tepi danau Turkana di Kenya. Mereka membangun sesuatu yang sangat langka dan luar biasa.
Lima abad kemudian, sekelompok arkeolog internasional menemukan bangunan kuno tersebut. Sebuah pemakaman besar dan monumental yang dibuat paling awal dan terbesar dari jenisnya di timur Afrika.
Namun, apa yang menakjubkan dari kuburan massal bernama Lothagam North Pillar Site ini adalah 600 sisa-sisa jasad yang dibaringkan di dalamnya.
Diatur dengan ketat di lubang berukuran 30 meter, mayat-mayat tersebut meliputi pria, wanita, anak-anak, serta orang lanjut usia. Mereka semua dikubur dengan cara yang sama di bawah pilar batu megalit besar -- tidak ada perlakuan khusus untuk seseorang.
Pemakaman massal ini diduga telah digunakan sekitar 5.000 hingga 4.300 tahun lalu.
Baca juga: Peta Tahun 1491 yang Memengaruhi Perjalanan Christopher Columbus
Meski tidak ada mayat yang dikubur dengan perlakuan istimewa, namun semua individu dimakamkan dengan ornamen pribadi – termasuk liontin batu, anting-anting, dan benda lainnya.
Para peneliti menduga, kuburan tersebut mungkin didirikan selama periode perubahan lingkungan dan kemasyarakatan. Saat pastoralisme menyebar ke wilayah yang saat ini kita kenal sebagai Kenya, penggembala dan hewan-hewannya akan bertemu dengan kelompok pemburu ikan.
Melihat latar belakang ini, para peneliti berhipotesis bahwa situs pemakaman egaliter tersebut dibangun sebagai semacam titik temu, di mana para penggembala dan pemburu bisa berkumpul bersama untuk berbagai tujuan sosial.
Baca juga: Gumpalan Keju Berusia 3000 Tahun Ditemukan di Makam Mesir Kuno
“Monumen ini mungkin berfungsi sebagai tempat bagi orang-orang untuk berkumpul, memperbarui ikatan sosial, dan memperkuat identitas komunitas,” jelas Anneke Janzen, salah satu peneliti studi sekaligus arkeolog antropologi dari Max Planck Institute for the Science of Human History.
“Pertukaran informasi dan interaksi melalui ritual bersama mungkin telah membantu para penggembala menavigasi lanskap fisik yang berubah dengan cepat,” tambahnya.
Sementara itu, Elisabeth Hildebrand, peneliti dari Stony Brook University, mengatakan bahwa penemuan ini membuat mereka mempertimbangkan kembali definisi kompleksitas sosial. “Motif seperti itu ternyata bisa memimpin sekelompok orang untuk menciptakan arsitektur publik,” pungkasnya.
Penemuan ini dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences.