Nationalgeographic.co.id - Pada tahun 1903, tikus Maclear yang menghuni pulau Christmas dinyatakan punah karena invasi yang dilakukan oleh manusia. Tikus Maclear merupakan spesies inang parasit yang bernama kutu pulau Christmas (Xenopsylla nesiotes).
Menghilangnya parasit beserta spesies inangnya menarik minat peneliti mengenai pentingnya kutu untuk diselamatkan.
Sebuah penelitian yang dipublikasian dalam Journal of Insect Conservation mengungkapkan bahwa hilangnya satu spesies dapat menyebabkan kepunahan spesies lain yang bergantung padanya.
"Parasit, terutama spesies spesifik-host, mungkin adalah kelompok organisme yang paling terancam di Bumi," kata Mackenzie Kwak, parasitologi dari National University of Singapore.
Terdengar aneh memang. Untuk pertama kalinya peneliti mengangkat topik mengenai kepunahan kutu.
Baca Juga: Hotel Luar Angkasa Bagi Astronaut yang Ingin Menjelajah Mars
Penelitian tersebut berfokus pada penilaian risiko kepunahan parasit. Selain kutu pulau Christmas, peneliti juga mendokumentasikan spesies kutu lainnya di Australia. Mereka menemukan bahwa empat spesies kutu yang lain juga terancam punah. Bahkan, dua di antaranya berstatus sangat kritis. Seperti kutu pulau Christmas, kutu-kutu tersebut juga menjadi parasit pada satu spesies lain.
Peneliti menegaskan bahwa hilangnya satu spesies inang benar-benar dapat memengaruhi banyak spesies yang hidup di sekitarnya. "Banyak spesies yang menjadi rumah sejumlah besar parasit, sehingga kepunahan satu hewan dapat menyebabkan sejumlah parasit menghilang juga," kata Kwak.
Bukti nyata terjadi pada tikus Maclear. Tikus tersebut diketahui menjadi rumah parasit kutu yang disebut Ixodes nitens. Kutu yang sekarang ini diyakini telah punah.
“Ada sejumlah parasit yang tidak diketahui jenisnya sedang menunggu untuk punah jika tuan rumah mereka menghilang,” katanya.
Untuk mencegah kepunahan parasit, peneliti menyerukan pendekatan konservasi yang lebih holistik. Menyelamatkan parasit dianggap sama pentingnya dengan menyelamatkan spesies inang mereka. Upaya tersebut akan melibatkan upaya konservasi di alam liar, mentranslokasi populasi yang terancam punah ke lokasi yang lebih aman, hingga membuat penangkaran bagi spesies inang.
Baca Juga: 10 Tanda Orang Cerdas Menurut Sains yang Mungkin Tidak Kita Sadari
“Pada saat ini para konservasionis hanya peduli dengan pemberantasan parasit satwa liar. Gagasan tersebut tidak memikirkan nilai parasit sebagai keanekaragaman hayati yang lebih luas atau sebagai pemain besar dalam fungsi ekosistem," ungkap Kwak.
Meskipun terdengar aneh, peneliti tetap menegaskan bahwa melestarikan parasit adalah hal yang penting dilakukan. Sebagian besar parasit ternyata tidak merugikan spesies inangnya. Bahkan, beberapa diantaranya turut memainkan beberapa peran penting.
"Kita tentu tahu bahwa parasit memainkan peran kunci dalam rantai makanan, siklus nutrisi, dan dalam membantu sistem kekebalan inang mereka tetap kuat dan efektif, sehingga mereka memiliki apa yang disebut nilai ekologis," tambah Kwak.
Lebih lanjut, peneliti memperkirakan adanya peran lain yang baru mulai dipahami. Bukan hanya berperan dalam rantai makanan, parasit juga berperan besar dalam ilmu medis. "Dalam perkembangan obat-obatan, kita semakin beralih ke alam. Kami melihat bahwa parasit mengandung senyawa yang sangat banyak yang dapat merevolusi obat," lanjut Kwak.
Baca Juga: Kamera Drone Berhasil Ungkap Keberadaan Suku Terasing di Amazon
Peneliti memberi contoh pada beberapa spesies cacing pita. Cacing-cacing tersebut mengandung logam berat yang diperkirakan oleh peneliti dapat digunakan untuk mengobati keracunan logam pada manusia.
Selain cacing, peneliti juga menemukan bahwa kutu memiliki kandungan antikoagulan yang kuat. Hal tersebut berguna untuk mengontrol pembekuan darah. Sedangkan larva lalat (botfly) diketahui dapat menghasilkan senyawa anestesi untuk mematikan rasa sakit.
Sehingga, peneliti sangat menyayangkan jika parasit yang sangat potensi tersebut menghilang di dunia.