Ritual Pengorbanan Manusia dan Upaya Arkeolog Untuk Mengungkapkannya

By Mar'atus Syarifah, Jumat, 31 Agustus 2018 | 10:00 WIB
Ilustrasi baju upacara pengorbanan suku Maya. (kertu_ee/Getty Images)

Mumi tersebut diperkirakan meninggal dalam usia antara 4 hingga 13 tahun. Dari penelitian yang dilakukan, ketiga mumi tersebut merupakan korban praktik pengorbanan anak oleh suku Inca yang dikenal dengan nama capacocha.

Analisis kimia pada kulit kepala anak mumi ini mengungkap bahwa mereka diberi kadar daun koka dan bir jagung yang tinggi pada tahun sebelum kematian mereka. Bahkan, mumi yang tertua — dijuluki Llullaillaco Maiden — ditemukan dengan daun koka di antara giginya yang terkatup. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka makan lebih banyak daging dan jagung di tahun terakhir mereka.  

Peneliti bahkan menemukan adanya korban lain yang mengalami gaya hidup lebih buruk dan suram. Pada suku Maya, peneliti melihat rincian yang mirip seperti jumlah gigi berlubang yang menunjukkan bahwa korban biasanya tidak termasuk dalam kelas atas.

Konservatori Angelyn Bass membersihkan permukaan dinding di peninggalan Suku Maya di Xultun, Guatema (Zika Zakiya)

Sedangkan pada analisis terbaru yang dilakukan pada tulang korban ritual di kota Ur, mengungkapkan bahwa tubuh mereka terkena panas dan uap merkuri setelah kematian.

Dari penelitian tersebut peneliti memprediksi bahwa praktik tersebut dilakukan agar korban tidak membusuk sehingga dapat dipajang di tempat umum. Mayat beberapa orang pun dihiasi dengan helm tembaga dan perhiasan emas, dan mereka mungkin telah diatur dalam sebuah tablo.

Baca Juga: Selain Sedotan Plastik, Puntung Rokok Turut Menyumbang Limbah Terbesar

Secara keseluruhan, penemuan semacam itu membantu mengungkapkan tidak hanya bagaimana para korban meninggal, tetapi juga mengapa mereka dibunuh.

“Kita sekarang tahu bahwa fenomena pengorbanan bukan penyerahan kematian secara sukarela. Bagi pihak korban, semua itu adalah bagian dari pertunjukan untuk dilihat oleh banyak orang," ungkap Schwartz.

Pertunjukan mengerikan tentang pembunuhan saat itu mungkin memiliki tujuan politik tertentu. Peneliti melihat adanya satu pola menonjol, yaitu pengorbanan terbesar dan paling berdarah sering terjadi beriringan dengan pembentukan pemerintahan baru.

Ritual tersebut juga diketahui menurun begitu pemerintahan menjadi lebih stabil. Peneliti menyimpulkan bahwa penemuan tersebut memberikan wawasan tentang bagaimana budaya menjaga kohesi sosial.