Ritual Pengorbanan Manusia dan Upaya Arkeolog Untuk Mengungkapkannya

By Mar'atus Syarifah, Jumat, 31 Agustus 2018 | 10:00 WIB
Ilustrasi baju upacara pengorbanan suku Maya. (kertu_ee/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id - Ritual pengorbanan manusia sudah menjadi sejarah yang melegenda. Para arkeolog pun sudah banyak menemukan bukti terkait di berbagai tempat di dunia. Penemuan ini pun semakin membuat para peneliti terdorong untuk semakin memperdalam pengetahuan arkeologi mengenai praktik tersebut.

Mereka menggunakan berbagai teknik di luar ilmu arkeologi tradisional yang menawarkan wawasan baru tentang korban, seperti dari mana mereka berasal, peran apa yang mereka mainkan di masyarakat, bagaimana mereka hidup sebelum mereka dibunuh dan mengapa mereka dipilih.

Penelitian tersebut, pada akhirnya akan membantu menjawab pertanyaan yang lebih mendasar tentang fungsi-fungsi pengorbanan dan sifat masyarakat yang melakukannya.

Menurutnya Glenn Schwartz, arkeolog dari Johns Hopkins University, arkeologi jauh lebih mudah untuk mempelajari permasalahan ekonomi atau politik masyarakat masa lalu daripada mempelajari apa yang mereka percayai tentang dunia dan mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan dalam konteks agama.

Baca Juga: Akibat Perubahan Iklim, Air Hangat Mampu Tembus Lapisan Es Arktika

"Banyak teknik baru yang mempermudah kami untuk mempelajari ritual pengorbanan manusia dengan cara yang canggih, terutama di bidang bioarchaeology, studi tentang sisa-sisa manusia, dan zooarchaeology, studi tentang sisa-sisa hewan," kata Schwartz.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2017, peneliti menemukan kandungan karbon, nitrogen dan belerang isotop dalam tulang manusia — ditemukan di makam kerajaan Yinxu. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, peneliti lain menemukan bahwa tulang belulang tersebut mungkin berasal dari luar Yinxu.

Suasana senja di sekitar Piramida suku Maya di Meksiko. (Jose Ignacio Soto/Thinkstock)

Untuk menjelaskan penemuan tersebut, peneliti kemudian menggunakan catatan dalam prasasti "tulang ramalan" di Tiongkok. Prasasti-prasasti tersebut telah mengungkap bahwa objek pengorbanan adalah orang asing. Para pemimpin Yinxu menangkap banyak orang asing ketika perang. Sehingga, analisis isotop mampu menjadi tambahan bukti fisik untuk mendukung skenario tersebut. 

“Arkeologi telah menjadi lebih interdisipliner, meminjam lebih banyak teknik dari ilmu-ilmu lain yang memungkinkan kami untuk melihat ke masa lalu dengan tingkat detail dan akurasi yang sepenuhnya baru,” kata Christina Cheung dari Simon Fraser University.

Baca Juga: Pestisida, Berbahaya dan Sekaligus Menjadi Candu Bagi Lebah Madu

Para ilmuwan juga mengungkap rincian baru tentang gaya hidup korban ritual pengorbanan. Pada tahun 2013, arkeolog bernama Andrew Wilson dari Universitas Bradford menyelidiki tiga mumi berusia sekitar 500 tahun yang ditemukan di dekat puncak gunung api Llullaillaco di Argentina.

Mumi tersebut diperkirakan meninggal dalam usia antara 4 hingga 13 tahun. Dari penelitian yang dilakukan, ketiga mumi tersebut merupakan korban praktik pengorbanan anak oleh suku Inca yang dikenal dengan nama capacocha.

Analisis kimia pada kulit kepala anak mumi ini mengungkap bahwa mereka diberi kadar daun koka dan bir jagung yang tinggi pada tahun sebelum kematian mereka. Bahkan, mumi yang tertua — dijuluki Llullaillaco Maiden — ditemukan dengan daun koka di antara giginya yang terkatup. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka makan lebih banyak daging dan jagung di tahun terakhir mereka.  

Peneliti bahkan menemukan adanya korban lain yang mengalami gaya hidup lebih buruk dan suram. Pada suku Maya, peneliti melihat rincian yang mirip seperti jumlah gigi berlubang yang menunjukkan bahwa korban biasanya tidak termasuk dalam kelas atas.

Konservatori Angelyn Bass membersihkan permukaan dinding di peninggalan Suku Maya di Xultun, Guatema (Zika Zakiya)

Sedangkan pada analisis terbaru yang dilakukan pada tulang korban ritual di kota Ur, mengungkapkan bahwa tubuh mereka terkena panas dan uap merkuri setelah kematian.

Dari penelitian tersebut peneliti memprediksi bahwa praktik tersebut dilakukan agar korban tidak membusuk sehingga dapat dipajang di tempat umum. Mayat beberapa orang pun dihiasi dengan helm tembaga dan perhiasan emas, dan mereka mungkin telah diatur dalam sebuah tablo.

Baca Juga: Selain Sedotan Plastik, Puntung Rokok Turut Menyumbang Limbah Terbesar

Secara keseluruhan, penemuan semacam itu membantu mengungkapkan tidak hanya bagaimana para korban meninggal, tetapi juga mengapa mereka dibunuh.

“Kita sekarang tahu bahwa fenomena pengorbanan bukan penyerahan kematian secara sukarela. Bagi pihak korban, semua itu adalah bagian dari pertunjukan untuk dilihat oleh banyak orang," ungkap Schwartz.

Pertunjukan mengerikan tentang pembunuhan saat itu mungkin memiliki tujuan politik tertentu. Peneliti melihat adanya satu pola menonjol, yaitu pengorbanan terbesar dan paling berdarah sering terjadi beriringan dengan pembentukan pemerintahan baru.

Ritual tersebut juga diketahui menurun begitu pemerintahan menjadi lebih stabil. Peneliti menyimpulkan bahwa penemuan tersebut memberikan wawasan tentang bagaimana budaya menjaga kohesi sosial.