Kisah Kelam Sarah Baartman, 'Manusia Sirkus' dari Suku Khoikoi

By Nesa Alicia, Senin, 17 September 2018 | 14:57 WIB
Sarah menjadi objek daya tarik. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id - Pernahkah Anda mendengar nama Sarah 'Saartjie' Baartman? Bila tidak pernah, mungkin Anda bukanlah satu-satunya yang belum mengenal wanita asal Afrika Selatan ini. Namun wanita kelahiran tahun 1789 ini pernah menjadi sumber hiburan bagi masyarakat Eropa saat itu.

Sarah lahir dan tumbuh di Gamtoos — saat ini bernama Eastern Cape. Lebih tepatnya di sebuah peternakan, tempat ibunya bekerja sebagai pelayan dan ayahnya yang bekerja sebagai sopir pengantar hewan ternak. Walaupun terlahir dalam keluarga yang lengkap, tetapi Sarah harus berpisah dengan orang tuanya saat masih kecil.

Baca Juga : Mengenang Tsunami Aceh, Kedatangan Wisatawan Asing Meningkat

Kehidupan Sarah terus berlanjut walau tanpa orang tua. Sarah kemudian menikah dengan seorang pria Khoikhoi dalam usia yang masih mudah. Suami Sarah berprofesi sebagai seorang drummer. Pernikahan ini melahirkan seorang anak yang kemudian meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

Kesedihan Sarah seakan tidak berhenti sampai di situ. Suatu hari, akibat ekspansi kolonial, Belanda berkonflik dengan suku Khoikhoi. Akibatnya orang-orang dipaksa untuk mengikuti kerja rodi. Suami Sarah pun dibunuh oleh seorang penjajah.

Usia Sarah baru mencapai 16 tahun, ketika semua peristiwa sedih itu datang dalam kehidupannya.

Tidak bersuami, Sarah pun ditangkap dan dijual kepada seorang pedagang perbudakan bernama Pieter Willem Cezar. Cezar membawanya ke Cape Town, tempat di mana ia menjadi seorang pembantu rumah tangga untuk saudaranya. Saat itulah Sarah mendapatkan nama "Saartjie".

Pada tanggal 29 Oktober 1810, Sarah diduga terlibat dalam sebuah perjanjian dengan William Dunlop, yang merupakan teman Cezar dan saudaranya, Hendrik. Rupanya, kesepakatan itu membuat Sarah harus ikut dengan Hendrik, Cezar, dan Dunlop ke Inggris dan Irlandia untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Tidak hanya itu, Sarah pun dijadikan sebagai "barang" hiburan.

Dalam perjanjiannya, Sarah akan dibayar dengan sistem bagi hasil dan dikembalikan ke Afrika Selatan setelah lima tahun. Namun, ada dua alasan yang membuat kesepakatan tersebut tampak meragukan. Pertama, Sarah sebenarnya buta huruf karena ia terlahir di tengah tradisi budaya yang tidak menulis atau pun menyimpan sebuah catatan. Kedua, keluarga Cezar sendiri sebenarnya tengah mengalami kesulitan keuangan. Atas hal inilah mereka diduga menggunakan Sarah sebagai mesin penghasil uang.

Penandatangan kontrak tersebut membuat dirinya harus menjadi tontonan orang banyak dan diperlakukan dengan tidak layak. Lantas, apa yang membuat Sarah menjadi "barang" dagangan ini? Sarah memiliki tubuh yang tidak seperti pada wanita umumnya, bokong sarah berukuran di atas rata-rata.

Bokong besar Sarah kemudian menjadi objek daya tarik masyarakat Eropa kolonial yang dianggap sebagai ras tertinggi. Tidak puas sampai di situ, Dunlop kemudian membawa Sarah ke London untuk "dipajang" di Piccadilly, sebuah jalan yang penuh dengan berbagai keanehan, seperti "ne plus ultra hideousness" dan "deformitas terbesar di dunia".

Baca Juga : Wajah Lain Kondom di Kuba, Ikat Rambut Hingga Penutup Botol Anggur

Orang-orang Inggris harus membayar bila ingin melihat tubuh Sarah yang dipamerkan dalam kondisi setengah telanjang. Sarah ditampilkan dalam sebuah kandang dengan tinggi sekitar satu setengah meter. Sarah pun menyedot banyak perhatian saat itu.

()

Setelah empat tahun berada di London, pada bulan September 1814, Sarah dipindahkan dari Inggris ke Prancis. Setibanya di Prancis, Hendrik dan Cezar menjualnya kepada Reaux, seorang pria yang memamerkan hewan-hewan. Reaux kemudian memamerkan Sarah di sekitar Paris dan memperoleh keuntungan yang sangat besar dikarenakan ketertarikan publik terhadap tubuh Sarah.

Baca Juga : Bayi Bermata Satu Hingga Tengkorak Mirip Alien, Koleksi Museum Vrolik

Sarah pun dipamerkan bersama dengan bayi badak. Sang "Pelatih" akan memerintahkannya untuk duduk atau berdiri dengan cara yang sama seperti hewan sirkus. Dalam pertunjukannya, Sarah seringkali ditampilkan setengah telanjang dengan hanya mengenakan sedikit celana. Ia hanya diizinkan untuk menutupi apa yang sudah seharusnya ditutupi. Karena itu, ia dijuluki "Venus Hottentot".

Penampilan Sarah menarik perhatian George Cuvier, seorang naturalis (orang yang melakukan penelitian khusus mengenai binatang dan tumbuhan). Cuvier bertanya kepada Reaux apakah dirinya diperbolehkan untuk mempelajari Sarah sebagai spesimen sains. Reaux pun mengijinkannya.

Sejak Maret 1815, Sarah menjadi subjek pembelajaran seorang ahli anatomi Prancis, ahli zoologi, dan ahli fisiologi.

Cuvier menyimpulkan bahwa Sarah adalah penghubung antara hewan dan manusia. Sialnya, Sarah digunakan sebagai contoh stereotip bahwa orang-orang Afrika memiliki nafsu yang tinggi dan juga sebagai ras yang rendah.

Pada tahun 1816, Sarah meninggal dalam usia 26 tahun. Tidak diketahui apakah ia meninggal karena alkoholisme, cacar, atau pneumonia.

Cuvier mendapatkan izin dari kepolisian untuk membedah tubuh Sarah. Dia kemudian mengambil otak dan alat kelamin Sarah. Anggota tubuh Sarah ini kemudian ditempatkannya ke dalam stoples untuk dipajang di Musée de l ' Homme  (Museum Manusia) hingga 1974. 

Saat kemenangan Kongres Nasional Afrika (ANC) dalam pemilihan di Afrika Selatan, Presiden Nelson Mandela meminta agar pemerintah Prancis mengembalikan jasad Sarah Baartman untuk dimakamkan.

Baca Juga : BMW Perkenalkan Motor yang Bisa Jalan Sendiri, Lebih Amankah?

Proses ini memakan waktu hingga delapan tahun, karena Prancis harus menyusun rancangan undang-undang yang ditulis dengan hati-hati agar negara lain tidak mengklaim Sarah sebagai milik negaranya.

Akhirnya, pada 6 Maret 2002 Sarah Baartman dikembalikan ke Afrika Selatan dan dimakamkan. Sarah dimakamkan di Hankey di Provinsi Eastern Cape. Kisah yang dialami oleh Sarah menjadi salah satu sejarah kelam yang pernah terjadi di peradaban Eropa.