Karoshi, Kematian Warga Jepang Karena Terlalu Banyak Bekerja

By Nesa Alicia, Rabu, 26 September 2018 | 10:27 WIB
Ilustrasi karoshi (Akaranan Panyadee/Getty Images/iStockphoto)

Baca Juga : Hikikomori, Penyakit Mental yang Membuat Warga Jepang Mengurung Diri

Dengan bekerja lebih produktif, karyawan berharap akan mendapatkan bonus, kenaikan gaji, ataupun kenaikan pangkat. Namun, kerja keras yang dilakukan membuat mereka melupakan kondisi tubuh dan kesehatan mereka. Bahkan, meskipun lembur dan bekerja dengan baik di depan atasan, terkadang perusahaan tidak memberikan apa-apa kepada mereka.

Masyarakat Jepang dikenal dengan usaha keras mereka dalam bekerja. (tomlamela/Getty Images)

Sebenarnya mengundurkan diri dari pekerjaannya dan mendapatkan pekerjaan baru adalah hal yang tidak sulit, tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Jepang. Dengan meninggalkan pekerjaannya yang sudah memiliki posisi tertentu, artinya mereka akan mengulang kembali karier mereka dari bawah.

Hal inilah yang kemudian membuat para "karyawan lelah" terperangkap dalam pekerjaan mereka.

Jeff Kingston, seorang profesor studi di Tokyo Temple University, mengatakan bahwa ada budaya kerja di mana karyawan diharapkan untuk benar-benar berdedikasi dan bersedia mengorbankan waktu dan kesehatannya bagi perusahaan mereka.

Baca Juga : Altar Berusia 1500 Tahun Ungkap Peninggalan ‘Raja Ular’ dari Maya Kuno

Keluarga korban dapat mengajukan ganti rugi kepada perusahaan terkait. Meski begitu, tidak semua karyawan yang meninggal dengan tanda-tanda yang diyakini karoshi dapat diklasifikasikan sebagai karoshi. Pemerintah akan menyelidiki dahulu kasus tersebut sebelum memutuskan apakah korban meninggal akibat kelelahan dalam bekerja atau tidak.

Bila kematian tersebut digolongkan sebagai karoshi, maka keluarga karyawan dapat menuntut kompensasi.

Menurut Washington Post, pada tahun 2015, sebanyak 189 kematian tercatat disebabkan oleh faktor karoshi. Sementara itu pada tahun 2016, sebuah penelitian yang meneliti kasus karoshi menemukan bahwa 20 persen dari 10.000 pekerja di Jepang bekerja sedikitnya 80 jam per bulan.

Hampir seperempat perusahaan Jepang memiliki karyawan yang bekerja lembur lebih dari 80 jam per bulan dan seringkali tidak dibayar. Kemudian 12 persen perusahaan memiliki karyawan dengan jam kerja selama 100 jam per bulan.

Terkait dengan hal ini, Jepang sedang berupaya untuk menghentikan kasus karoshi melalui berbagai kebijakan agar para karyawan tidak bekerja secara berlebihan. 

Pemerintah telah mengeluarkan Premium Fridays, agar perusahaan dapat membiarkan karyawan mereka keluar lebih awal, yaitu jam 3 sore, pada hari Jumat setiap akhir bulan. Pemerintah juga ingin agar para karyawan mengambil lebih banyak waktu untuk liburan.

Baca Juga : Seberapa Parah Radiasi yang Didapat Astronaut Jika Mengunjungi Mars?

Selain itu, karyawan juga berhak atas 20 hari cuti dalam setahun. Namun pada faktanya sekitar 35% karyawan tidak mengambil jatah cuti mereka.

Salah satu kantor pemerintah lokal di Toshima, distrik pusat kota Tokyo, mematikan lampu kantor pada pukul tujuh malam untuk memaksa karyawan pulang.

Hitoshi Ueno, manager sebuah perusahaan di Jepang mengungkapkan pendapatnya bahwa karyawan juga perlu untuk mengembangkan minat mereka di luar kantor. "Ini bukan hanya tentang memotong jam kerja. Kami ingin orang menjadi lebih efisien dan produktif, sehingga semua orang dapat menikmati waktu luang mereka. Kami ingin mengubah lingkungan kerja secara total," tambahnya.