Karoshi, Kematian Warga Jepang Karena Terlalu Banyak Bekerja

By Nesa Alicia, Rabu, 26 September 2018 | 10:27 WIB
Ilustrasi karoshi (Akaranan Panyadee/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Kematian akibat terlalu banyak bekerja bukanlah cerita baru bagi masyarakat Jepang. Negara yang terkenal dengan julukan Negeri Sakura ini memang terkenal dengan jam kerja yang panjang.

Kasus Karoshi pertama kali terjadi pada tahun 1969, ketika seorang pria berusia 29 tahun meninggal karena stroke dan serangan jantung akibat bekerja secara berlebihan. 

Awalnya, pada tahun 1980-an, Karoshi dipercaya hanya menyerang pria, tetapi saat ini wanita juga mengalami Karoshi seperti yang dikatakan oleh Hiroshi Kawahito, pengacara dan sekretaris jenderal Penasihat Pertahanan Nasional untuk Korban Karoshi.

Baca Juga : Suhu Semakin Meningkat, Lapisan Es Terbesar di Bumi Terancam Mencair

Hampir satu dari lima korban Karoshi terjadi pada wanita, seperti yang dialami oleh Miwa Sado dan Takahashi. 

Pada 25 Juli 2013, Sado (31) ditemukan tewas di apartemennya di Tokyo dengan posisi sedang memegang ponselnya. Miwa Sado adalah seorang jurnalis yang meninggal setelah bekerja 159 jam dalam waktu sebulan. Penyebab kematiannya telah diklasifikasikan sebagai "karoshi"—kematian karena terlalu banyak bekerja.

Kemudian, pada 25 Desember 2015, Matsuri Takahashi bunuh diri dengan cara melompat dari asramanya setelah kelelahan bekerja selama 105 jam pada bulan sebelumnya. Beberapa minggu sebelum kematiannya, Takahashi menulis di media sosial yang mengatakan, "Saya hancur secara fisik dan mental" dan "Saya ingin mati." 

Selain itu, Takahashi juga menulis dalam akun Twitternya, "Ini jam 4 pagi, tubuh saya gemetar. Saya akan mati. Saya sangat lelah." 

Menurut Reuters, kasus bunuh diri pada wanita dan karyawan di bawah 29 tahun telah mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir, seperti dilansir dari Bussines Insider, Selasa (25/9/2018).

Tidak jarang, banyak perusahaan di Jepang memang memilih untuk mempekerjakan karyawan yang masih muda untuk bekerja lembur. Para atasan berharap agar karyawan bisa datang lebih pagi dan pulang hingga larut malam. 

Takehiro Onuki salah satunya. Salesman berusia 31 tahun ini selalu datang ke kantor pukul 8 pagi dan pulang ketika hari akan mulai berganti. Ia hanya dapat melihat istrinya pada akhir pekan.

Bukan tanpa alasan mengapa orang Jepang bekerja begitu keras. Mereka akan takut bila tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga berdampak pada pemecatan.

Baca Juga : Hikikomori, Penyakit Mental yang Membuat Warga Jepang Mengurung Diri

Dengan bekerja lebih produktif, karyawan berharap akan mendapatkan bonus, kenaikan gaji, ataupun kenaikan pangkat. Namun, kerja keras yang dilakukan membuat mereka melupakan kondisi tubuh dan kesehatan mereka. Bahkan, meskipun lembur dan bekerja dengan baik di depan atasan, terkadang perusahaan tidak memberikan apa-apa kepada mereka.

Masyarakat Jepang dikenal dengan usaha keras mereka dalam bekerja. (tomlamela/Getty Images)

Sebenarnya mengundurkan diri dari pekerjaannya dan mendapatkan pekerjaan baru adalah hal yang tidak sulit, tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Jepang. Dengan meninggalkan pekerjaannya yang sudah memiliki posisi tertentu, artinya mereka akan mengulang kembali karier mereka dari bawah.

Hal inilah yang kemudian membuat para "karyawan lelah" terperangkap dalam pekerjaan mereka.

Jeff Kingston, seorang profesor studi di Tokyo Temple University, mengatakan bahwa ada budaya kerja di mana karyawan diharapkan untuk benar-benar berdedikasi dan bersedia mengorbankan waktu dan kesehatannya bagi perusahaan mereka.

Baca Juga : Altar Berusia 1500 Tahun Ungkap Peninggalan ‘Raja Ular’ dari Maya Kuno

Keluarga korban dapat mengajukan ganti rugi kepada perusahaan terkait. Meski begitu, tidak semua karyawan yang meninggal dengan tanda-tanda yang diyakini karoshi dapat diklasifikasikan sebagai karoshi. Pemerintah akan menyelidiki dahulu kasus tersebut sebelum memutuskan apakah korban meninggal akibat kelelahan dalam bekerja atau tidak.

Bila kematian tersebut digolongkan sebagai karoshi, maka keluarga karyawan dapat menuntut kompensasi.

Menurut Washington Post, pada tahun 2015, sebanyak 189 kematian tercatat disebabkan oleh faktor karoshi. Sementara itu pada tahun 2016, sebuah penelitian yang meneliti kasus karoshi menemukan bahwa 20 persen dari 10.000 pekerja di Jepang bekerja sedikitnya 80 jam per bulan.

Hampir seperempat perusahaan Jepang memiliki karyawan yang bekerja lembur lebih dari 80 jam per bulan dan seringkali tidak dibayar. Kemudian 12 persen perusahaan memiliki karyawan dengan jam kerja selama 100 jam per bulan.

Terkait dengan hal ini, Jepang sedang berupaya untuk menghentikan kasus karoshi melalui berbagai kebijakan agar para karyawan tidak bekerja secara berlebihan. 

Pemerintah telah mengeluarkan Premium Fridays, agar perusahaan dapat membiarkan karyawan mereka keluar lebih awal, yaitu jam 3 sore, pada hari Jumat setiap akhir bulan. Pemerintah juga ingin agar para karyawan mengambil lebih banyak waktu untuk liburan.

Baca Juga : Seberapa Parah Radiasi yang Didapat Astronaut Jika Mengunjungi Mars?

Selain itu, karyawan juga berhak atas 20 hari cuti dalam setahun. Namun pada faktanya sekitar 35% karyawan tidak mengambil jatah cuti mereka.

Salah satu kantor pemerintah lokal di Toshima, distrik pusat kota Tokyo, mematikan lampu kantor pada pukul tujuh malam untuk memaksa karyawan pulang.

Hitoshi Ueno, manager sebuah perusahaan di Jepang mengungkapkan pendapatnya bahwa karyawan juga perlu untuk mengembangkan minat mereka di luar kantor. "Ini bukan hanya tentang memotong jam kerja. Kami ingin orang menjadi lebih efisien dan produktif, sehingga semua orang dapat menikmati waktu luang mereka. Kami ingin mengubah lingkungan kerja secara total," tambahnya.