Sokushinbutsu, Kisah Para Biksu Yang Mengubah Dirinya Menjadi Mumi

By Nesa Alicia, Rabu, 3 Oktober 2018 | 15:57 WIB
(Ancient Origins)

Nationalgeographic.co.id - Praktik mumifikasi secara alami diajarkan oleh seorang biksu dari Jepang bernama Kūkai. Praktik ini bertujuan untuk melakukan tindakan kedisplinan dan dedikasi terakhir yaitu dengan melakukan mumifikasi diri.

Ritual ini dikenal dengan nama Sokushinbutsu, proses panjang yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melihat apakah proses mumifikasi berhasil. Jika berhasil, maka biksu yang telah berubah menjadi mumi tersebut akan ditempatkan di sebuah kuil untuk dihormati dan disembah. 

Perjalanan ini dimulai pada tahun 804 M. Kūkai, seorang biksu Buddha yang terkenal, pergi ke Tang, Tiongkok untuk mempelajari agama Buddhisme Esoterik. Kemudian, pada 806 M, setelah diinisiasi sebagai penguasa garis keturunan esoterik, Kūkai kembali ke tempat asalnya dengan membawa banyak teks Buddhisme Esoterik, yang sebagian besar baru di Jepang. 

Baca Juga : Operasi Plastik: Apa yang Menyebabkan Banyak Orang Ingin Melakukannya?

Kūkai dengan tekun merumuskan ajaran Buddhisme Esoterik berdasarkan dengan pengetahuan yang diperolehnya di Tiongkok. Sejak saat itu, ia menjadi penyebar ajaran Buddhisme Esoterik di Jepang dan mendirikan sekolahnya sendiri bernama Shingon.

Praktik-praktik mengenai Buddhisme Esoterik yang dibawanya dari Tiongkok adalah ajaran tantra dan praktik asketik yang dikenal sebagai sokushinjōbutsu,  "mencapai Kebuddhaan dalam daging".

Para praktisi mengatakan bagi biksu yang berhasil memumikan tubuh mereka, maka dianggap telah mencapai Kebuddhaan dalam kedagingan.

Kūkai dan pengikutnya pun mempraktikan Sokuhhinbutsu. Menjelang akhir hayatnya, Kūkai melakukan mediasi dan menolak semua makanan dan air. Ketika meninggal, aa dimakamkan di Gunung Koya, Prefektur Wakayama.

Setelah beberapa lama, makam tersebut dibuka dan Kūkai terlihat seperti sedang tertidur. Kulitnya tidak berubah dan rambutnya terlihat sehat dan kuat.

Salah satu tujuan dari pertapaan di pegunungan adalah mengubah seorang pria yang tidak suci menjadi seorang pria yang suci. Dengan kata lain, pertapaan ini membuat seseorang menjadi seorang Buddha dalam daging atau Sokushinbutsu. 

Untuk menjadi Sokushinbutsu tidaklah mudah dan merupakan tugas yang sulit. Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk menjadi Sokushinbutsu. Ratusan bahkan ribuan biksu berusaha untuk menjadi Sokushinbutsu. Namun, pada abad 11 hingga 19 hanya 24 yang diketahui berhasil, sebagian besar di pegunungan Jepang utara.

Ketika ingin memulai praktik ini, para biksu harus menanggung penyiksaan diri selama 2000 hingga 3000 hari. Selama seribu hari pertama, mereka harus melakukan pertapaan dan diet ketat yang disebut mokujikigyo atau makan pohon dengan mengonsumsi kacang-kacangan, biji-bijian, dan buah beri. 

Baca Juga : Ledakan Bom Perang Dunia II Kirim Gelombang Kejut Hingga ke Atmosfer

(Ancient Origins)

Diet ini sangat penting untuk menghilangkan semua lemak pada tubuh. Asupan air juga akan dikurangi untuk mengeringkan tubuh dan membuat organ menyusut. 

Setelah seribu hari "makan pohon", para biksu akan mulai minum teh beracun yang terbuat dari getah pohon Urushi. Biasanya, getah Urushi digunakan untuk pernis peralatan makan. Dengan mengonsumsi teh tersebut maka tubuh akan mengandung racun, sehingga dagingnya tidak akan dimakan oleh belatung dan parasit lainnya.

Racun tersebut juga akan membuat biksu muntah dan kehilangan cairan tubuh lebih cepat.

Baca Juga : Wabah Menari Massal, Menari Tanpa Henti Ini Membunuh Banyak Orang

Ketika biksu merasa akan tiba waktunya untuk meninggal, ia akan mencari sebuah tempat untuk mengurung dirinya. Tempat tersebut seperti kuburan dan biasanya di ruang bawah tanah dengan ukuran yang tidak cukup besar sehingga biksu harus berada dalam posisi duduk seperti sedang mediasi. 

Dalam kuburannya akan dipasang sebuah tabung menggunakan bambu panjang yang berfungsi sebagai ventilasi udara agar biksu tetap dapat bernafas. Selain itu, di dalamnya akan diletakan sebuah lonceng yang akan dibunyikan setiap hari yang menandakan bahwa dirinya masih hidup. Bila lonceng tersebut sudah tidak berdering, berarti biksu tersebut telah meninggal.

Makam tersebut akan disegel selama tiga tahun. Bila proses mumifikasi tersebut berhasil, maka jasadnya akan diabadikan sebagai "Buddha Hidup" di sebuah kuil. Mereka akan diperlakukan seolah-olah masih hidup dan dihormati oleh umat Buddha sebagai Buddha yang hidup dan bernapas.

Keberhasilan mumifikasi diri dianggap sebagai tanda pahala spiritual yang tinggi. Bagi para biksu yang gagal, akan dimakamkan kembali setelah proses eksorsisme dilakukan.

Praktik sokushinjobutsu tidak dilihat sebagai tindakan bunuh diri, melainkan sebagai bentuk pencerahan untuk memberikan kesaksian, dedikasi, dan kemandirian. Mumifikasi adalah tindakan dengan mengorbanan diri demi kepentingan semua makhluk hidup. Mumifikasi diri juga dianggap sebagai jalan menuju keabadian.

Baca Juga : Temuan Planet Nakal, Tidak Mengorbit Bintang dan 12 Kali Lebih Besar dari Jupiter

Pada tahun 1879, praktek ini dilarang oleh pemerintah Meiji. Saat itu negara tengah melakukan upaya modernisasi. Sejak saat itu, tidak ada lagi kasus mumifikasi yang terjadi.

Hingga saat ini, Sokushinbutsu masih diabadikan di berbagai kuil, di mana mereka disembah sebagai peninggalan dan sebagai Buddha hidup. Orang-orang yang menganut keyakinan eskatologis mempercayai bila di masa depan ketika akhir zaman tiba, para sokushinbutsu akan bangun dan membantu umat manusia.