Kerap Terjadi, Bencana Hidrometeorologi Juga Perlu Kita Waspadai

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 4 Oktober 2018 | 14:55 WIB
Banjir merupakan salah satu bentuk bencana hidrometeorologi. (Ronny Adolof Buol/Kompas.com)

Eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, perluasan lahan, serta perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan atau sawah pertanian dan permukiman tanpa diikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, menyebabkan bencana jadi lebih sering terjadi.

“Saat ini, hujan lebat sedikit saja sudah terjadi banjir di mana-mana karena kondisi lingkungan dan daya tampung yang sudah terlampaui, apalagi di Jawa yang paling padat. Jumlah penduduk terbanyak ada di Jawa,” tambahnya. 

Tidak hanya banjir dan longsor, kepadatan penduduk juga menyebabkan perubahan tekanan udara sehingga berpeluang terjadi angin puting beliung karena udara bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah.

Laporan dari Global Humanitarian Forum menyatakan bahwa bencana hidrometeorologi akan menjadi ancaman terbesar manusia pada tahun-tahun mendatang. Apalagi ditambah dengan pemanasan global yang berdampak pada menghangatnya suhu dan mencairnya es di kutub. 

Perubahan iklim menjadi penyebab meningkatnya bencana hidrometeorologi karena secara nyata telah memengaruhi terjadinya perubahan watak hujan dan cuaca. Tidak hanya polanya, tapi intensitas, durasi, dan sebaran curah hujan juga berubah. 

Mengatasi bencana hidrometeorologi

Untuk mengatasi bencana hidrometeorologi, perlu dilakukan pengembangan teknologi, pemantauan dan prediksi kebencanaaan, penyusunan tata ruang yang sesuai tingkat kerentanan bencana, serta kampanye untuk peningkatan pemahaman dampak dan pengurangan risiko bencana.

Dalam seminar bertajuk Waspada Bencana Hidrometeorologi: Kita Bisa Siaga! yang diselenggarakan pada 25 April 2018 lalu, di Gedung II BPPT Jakarta, Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG Nelly Florida Riama, mengatakan bahwa lembaganya terus berupaya membantu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Misalnya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat diantaranya untuk penggiat dan relawan bencana, petani serta nelayan, melalui berbagai program kolaborasi dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah menjadi penting dalam menghadapi bencana.

“Di satu sisi, masyarakat harus memiliki kesadaran dan dipersiapkan agar mampu menghadapi bencana dengan siaga. Di sisi lain, para ahli dan petugas dengan kualifikasi yang baik dan jumlah yang cukup perlu disebar secara proporsional di daerah rawan bencana,” ucap Nelly, dilansir dari Okezone.com.

Baca Juga : Gunung Soputan di Sulawesi Meletus, Keluarkan Asap Tebal dan Tinggi

Pada kesempatan yang sama, Dr. Albert Sulaiman dari BPPT juga turut menyampaikan inovasi yang sedang dikembangkan BRG dan BPPT.

“BRG-BPPT saat ini telah membuat sistem monitoring tinggi muka air lahan gambut secara real time. Sistem ini akan menjadi Early Warning System untuk kebakaran lahan gambut, sekaligus mendukung tata kelola sumberdaya air gambut dan monitoring kegiatan restorasi yang meliputi rewetting dan revegetasi,” tukas beliau.

Sistem tersebut dilengkapi dengan alat yang dapat dioperasikan dalam sistem android. Ia bermanfaat untuk tata kelola air di lahan gambut, termasuk monitoring potensi kebakaran lahan gambut di musim kering.

BPPT juga telah memperkenalkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang tidak hanya digunakan untuk menambah curah hujan, tetapi juga untuk mengurangi hujan es dan menghilangkan kabut.