Nationalgeographic.co.id - Pernahkah Anda mendengar tentang bencana hidrometeorologi? Istilah ini mulai sering dibahas beberapa tahun belakangan.
Pada dasarnya, bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang disebabkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti suhu, tekanan, curah hujan, angin, kelembapan, dan yang lainnya. Contohnya meliputi banjir, kekeringan, badai, dan tanah longsor.
Indonesia sendiri cukup sering mengalami bencana hidrometeorologi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan mengatakan bahwa frekuensi dan intensitas bencana tersebut, terus meningkat selama 15 tahun terakhir.
Baca Juga : 5 Gempa yang Mengakibatkan Tsunami Paling Mematikan Abad Ini
Pada 2017, dari 2.341 bencana yang terjadi di Indonesia, sekitar 92%nya merupakan bencana hidrometeorologi. Meliputi banjir (787 kejadian), puting beliung (716), tanah longsor (614), kebakaran hutan dan lahan (96), banjir dan tanah longsor (76), kekeringan (19), dan gelombang pasang dan abrasi (11).
Tercatat ada 156 warga yang tewas, 168 jiwa luka-luka, 52.930 pengungsi dan tujuh ribu lebih rumah rusak akibat longsor selama 2017.
Sementara dampak banjir menewaskan 135 orang, melukai 91 warga, membuat 2,3 jta jiwa mengungsi dan merusak ribuan rumah.
Selain itu, dari 716 kejadian puting beliung 30 orang tewas, 199 jiwa luka-luka, 14.901 penduduk harus mengungsi sekitar 15 ribu rumah rusak.
Tidak hanya warga, pemerintah pun mengalami dampak dari bencana hidrometeorologi tersebut. Diperkirakan kerugian dan kerusakan akibat bencana mencapai puluhan triliun rupiah.
Ulah manusia dan perubahan iklim
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa meningkatnya bencana hidrometeorologi disebabkan oleh kerusakan lingkungan akibat ulah manusia (antropogenik) dan faktor perubahan iklim. Khusus untuk banjir, longsor, dan puting beliung, penyebab dominannya lebih ke antropogenik.
“Alam memang berpengaruh terhadap curah hujan. Namun, kalau lingkungan dan ekosistem tertata dengan baik, kejadian bencana tidak akan terus meningkat,” kata Sutopo, dilansir dari Republika.co.id, Januari 2018 lalu.
Eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, perluasan lahan, serta perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan atau sawah pertanian dan permukiman tanpa diikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, menyebabkan bencana jadi lebih sering terjadi.
“Saat ini, hujan lebat sedikit saja sudah terjadi banjir di mana-mana karena kondisi lingkungan dan daya tampung yang sudah terlampaui, apalagi di Jawa yang paling padat. Jumlah penduduk terbanyak ada di Jawa,” tambahnya.
Tidak hanya banjir dan longsor, kepadatan penduduk juga menyebabkan perubahan tekanan udara sehingga berpeluang terjadi angin puting beliung karena udara bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah.
Laporan dari Global Humanitarian Forum menyatakan bahwa bencana hidrometeorologi akan menjadi ancaman terbesar manusia pada tahun-tahun mendatang. Apalagi ditambah dengan pemanasan global yang berdampak pada menghangatnya suhu dan mencairnya es di kutub.
Perubahan iklim menjadi penyebab meningkatnya bencana hidrometeorologi karena secara nyata telah memengaruhi terjadinya perubahan watak hujan dan cuaca. Tidak hanya polanya, tapi intensitas, durasi, dan sebaran curah hujan juga berubah.
Mengatasi bencana hidrometeorologi
Untuk mengatasi bencana hidrometeorologi, perlu dilakukan pengembangan teknologi, pemantauan dan prediksi kebencanaaan, penyusunan tata ruang yang sesuai tingkat kerentanan bencana, serta kampanye untuk peningkatan pemahaman dampak dan pengurangan risiko bencana.
Dalam seminar bertajuk Waspada Bencana Hidrometeorologi: Kita Bisa Siaga! yang diselenggarakan pada 25 April 2018 lalu, di Gedung II BPPT Jakarta, Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG Nelly Florida Riama, mengatakan bahwa lembaganya terus berupaya membantu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Misalnya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat diantaranya untuk penggiat dan relawan bencana, petani serta nelayan, melalui berbagai program kolaborasi dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah menjadi penting dalam menghadapi bencana.
“Di satu sisi, masyarakat harus memiliki kesadaran dan dipersiapkan agar mampu menghadapi bencana dengan siaga. Di sisi lain, para ahli dan petugas dengan kualifikasi yang baik dan jumlah yang cukup perlu disebar secara proporsional di daerah rawan bencana,” ucap Nelly, dilansir dari Okezone.com.
Baca Juga : Gunung Soputan di Sulawesi Meletus, Keluarkan Asap Tebal dan Tinggi
Pada kesempatan yang sama, Dr. Albert Sulaiman dari BPPT juga turut menyampaikan inovasi yang sedang dikembangkan BRG dan BPPT.
“BRG-BPPT saat ini telah membuat sistem monitoring tinggi muka air lahan gambut secara real time. Sistem ini akan menjadi Early Warning System untuk kebakaran lahan gambut, sekaligus mendukung tata kelola sumberdaya air gambut dan monitoring kegiatan restorasi yang meliputi rewetting dan revegetasi,” tukas beliau.
Sistem tersebut dilengkapi dengan alat yang dapat dioperasikan dalam sistem android. Ia bermanfaat untuk tata kelola air di lahan gambut, termasuk monitoring potensi kebakaran lahan gambut di musim kering.
BPPT juga telah memperkenalkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang tidak hanya digunakan untuk menambah curah hujan, tetapi juga untuk mengurangi hujan es dan menghilangkan kabut.