Pembakaran Lahan Terus Menerus Terjadi di Sumatra Selatan, Untuk Apa?

By Nesa Alicia, Rabu, 10 Oktober 2018 | 11:56 WIB
Ilustrasi kebakaran hutan. (JPhilipson/Getty Images)

DD Shineba, dinamisator Kedeputian III BRG (Badan Restorasi Gambut) wilayah Sumatra Selatan, mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi merupakan sebuah dilema.

“Jika mengacu UU 32 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat hukum adat boleh membuka lahan dengan cara bakar. Tapi berbeda dengan aturan yang lain. Di Sumatra Selatan ada perda yang isinya melarang pembakaran lahan oleh perusahaan maupun warga,” ucap Shineba, melansir dari Mongabay.

Menurutnya, agar tidak terkena hukuman, masyarakat akan membakarnya secara diam-diam. Padahal, kebiasaan ini lebih berbahaya dari yang biasa dilakukan. 

Shineba sepakat bila yang dilakukan oleh masyarakat memang bentuk perlawanan, tetapi tidak diketahui siapa penggerak dibalik pembakaran tersebut karena dilakukan secara diam-diam dan tidak jelas. 

Kondisi ini terjadi karena tidak ada insentif dari pemerintah, seperti pengetahuan pengelolaan lahan tanpa harus dibakar, serta teknologi penunjangnya. Hal inilah yang mengakibatkan ketimpangan sosial yang tinggi. 

Insentif yang diinginkan bukan berarti uang, melainkan berupa pengetahuan dan teknologi. Bila perlu juga dihadirkan teknologi hasil pangan atau pertanian. Yang pasti, pemerintah jangan hanya melarang tanpa diberikan dukungan yang cukup. 

Baca Juga : Black Dahlia, Kasus Pembunuhan dan Mutilasi yang Tidak Terpecahkan

Apabila masyarakat diperlakukan tidak adil, mereka tidak segan-segan untuk melawan. “Benteng etika sebagai manusia di tengah masyarakat juga melemah,” kata Shineba.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Mongabay Indonesia, informasi mengenai pelaku pembakaran masih sulit didapatkan karena setiap warga mengaku tidak mengetahui pelaku pembakaran. Selain itu, aparat kepolisian, petugas, dan pemadam kebakaran juga minim informasi.

Meski begitu, warga akan selalu siap untuk ikut memadamkan hutan dan lahan yang terbakar.