Konflik Antara Manusia dengan Harimau, Siapa Menyerang Siapa?

By Lajovi Pratama, Jumat, 26 Oktober 2018 | 12:14 WIB
Sekelompok pria dan anak-anak berfoto dengan harimau yang mati diburu pada Mei 1941 (H. Bartels/Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id - Ingatannya telah pudar. Luka-luka di tubuhnya telah lama pulih. Punggung yang koyak, gigi yang rompal, lidah yang sobek, nyaris tiada berbekas. Akan tetapi, di dalam jiwanya, masih tersisa rasa gentar.

Meski nampak enggan mengenang peristiwa itu, Jumadi memetik satu pelajaran penting selama setengah abad hidupnya. Dalam pandangan Jawa, ungkapnya, “Sebetulnya simbah itu mengayomi masyarakat. Karena orang-orang menebangi hutan, lalu ia keluar dari hutan, dan mengganggu masyarakat.”

Suasana hatinya campur aduk: rasa bersalah dan rasa resah simbah akan membalas dendam. “Mungkin kita semua salah. Karena itu, setelah sembuh, saya bersyukur dengan memotong kambing, agar dia tidak mengganggu lagi. Entah betul entah tidak, saya coba beradaptasi bila bertemu kembali dengan yang menyerang saya.”

Di rumahnya yang sahaja, lelaki kelahiran Jawa Tengah ini menuturkan kisahnya dari hilir ke hulu. Serangan itu terjadi kira-kira pada 2006. Sebelum menerkam Jumadi, harimau telah memangsa 36 ekor kambing. Masyarakat yang cemas lantas mengundang pawang.

Baca Juga : Bukan Musuh Bebuyutan, Anjing dan Kucing Dapat Hidup Berdampingan

Pawang datang, dan mengajak warga menangkap sang penebar teror. “Saya merasa tidak enak. Pawang bersedia datang, kok, saya tidak membantu,” imbuhnya. Saat itu, sebagai kepala dusun, ia merasa wajib turut serta demi ketenteraman desa Trijaya.

Kehadiran pawang melambungkan rasa percaya diri warga menghadapi satwa pemangsa itu. “Kata si pawang, ‘Kalau tertangkap, nanti kita sop, dan kita makan bersama.’ Jadi, warga sebenarnya mengikuti keinginan pawang.”

Hanya berbekal tali, pawang merasa mampu menangkap harimau tersebut. Pawang bilang, ingat Jumadi, “Disiuli saja maka ia akan tunduk.” Dengan keberanian buta, warga pun bergegas mencari pengganggu ketenangan. Ini pertikaian yang tidak imbang: seekor satwa dengan naluri membunuh, versus warga yang penuh dendam.

Masyarakat dan harimau sama-sama membutuhkan hutan. (Edy Susanto)

Pada siang yang nahas itu, harimau bersembunyi dalam belukar di kebun. Dari sekian banyak pengepung, simbah memilih Jumadi. Tidak seorang pun menduganya. “Saya tidak ingat karena dia menerkam sangat cepat,” kisahnya. Nasib baik masih berpihak kepada Jumadi. Usai menyerang, harimau terjerembab ke jurang kebun, lalu melarikan diri.

Harimau membuktikan daya serang yang efektif: wajah lelaki jangkung ini luka parah, dengan bengkak infeksi berbulan-bulan. “Orang lain melihat betapa perihnya. Tetapi, saya tidak merasakan sakit apa-apa. Mungkin Tuhan mengetahui kebenaran, saya memang tidak berniat mengganggu dia,” kenang Jumadi.

Jumadi meyakini harimau masih ada di kawasan hutan sekitar desa. Bahkan hingga beberapa bulan lalu, harimau masih berkeliaran di jalanan Trijaya. “Yang satu itu masih ada, tetapi memang ada yang nakal dan tidak. Itu saja bedanya,” ujar Jumadi.

Riwayat hidup Jumadi menyisipkan pesan mitigasi konflik: Tanpa kehadiran pihak berwenang, pertikaian yang berlarut-larut justru memicu perburuan liar. Ini salah satu ancaman serius bagi kelangsungan hidup satwa yang terancam punah dan dilindungi negara ini.

Titik pertikaian tersebar di sepanjang batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. (Tidak hanya harimau, juga dengan gajah dan beruang madu.) Tingkat konflik yang semula rendah, meningkat ke level sedang, puncaknya jatuh korban jiwa. Entah manusia, entah harimau. Pasang surut hubungan harimau dengan manusia ini bermula sejak populasi manusia datang dan menduduki kawasan hutan yang menjadi lanskap harimau.

Pendudukkan hutan di sekitar taman nasional punya sejarah panjang, yang berkaitan erat dengan gelombang transmigrasi dari Jawa, dan juga migrasi lokal. Sejak masa kolonial sampai Orde Baru, Lampung dikenal sebagai daerah tujuan transmigrasi.

Jumadi. (Edy Susanto)

Upaya mengurangi penghuni kawasan hutan di Lampung dan sekitarnya telah dilakukan sejak Orde Baru, yang memicu protes dari pembela hak asasi manusia. Masa kelam ini masih dituturkan generasi tua kepada generasi muda—hingga kini. Penghuni hutan mengenangnya sebagai masa pengusiran; pihak berwenang menyebutnya sebagai operasi penurunan perambah. Dua istilah yang saling berbenturan ini menunjukkan kawasan hutan menjadi sarang konflik akut antarmanusia.

Sebagian kecil warga yang terusir berpindah ke sisi barat dari batas taman nasional, lalu membuka lahan baru. Sebagian yang lain ikut transmigrasi. Sebagian lagi pulang kampung. Dan, sebagian sangat kecil mengalami depresi.

Baca Juga : Di Desa Kongthong India, Setiap Warga Dipanggil dengan Lantunan Nada Bukan Nama

Ringkas kisah, lanskap Bukit Barisan Selatan yang secara alami menjadi wilayah hunian harimau, perlahan menyempit. Di sepanjang pesisir barat misalnya, permukiman memadati daratan sempit yang dibatasi rangkaian Bukit Barisan. Sampai 1990-an, repong damar tumbuh rimbun di sepanjang jalan lintas Lampung-Bengkulu. Saat itu, harimau dan gajah kerap menjelajahi wilayah pesisir Samudra Hindia.

“Pada 1991, dari jendela dapur, istri dan anak saya sempat mengintip harimau yang berjalan di belakang rumah,” tutur Ashari, seorang warga Talang Padang, Ngaras. Rumahnya tidak jauh dari pantai, deru ombak terdengar sayup-sayup. “Waktu itu, gajah dan harimau kerap mengunjungi jalan lintas di depan rumah ini. Kampung sering geger,” katanya.

Repong damar berumur tua di lahan masyarakat menciptakan tegakan semirip hutan liar. Kini damar mulai ditebangi lantaran pemiliknya ingin berganti komoditas. “Pemiliknya sudah ganti generasi yang lebih memilih menebang kayu damar daripada getahnya. Kebutuhannya sudah berbeda.”

Seiring perkembangan zaman, populasi manusia merambat ke perbukitan mendekati kawasan hutan dan taman nasional. Ada yang membuka lahan di kawasan hutan, ada yang menyusup diam-diam ke taman nasional, ada juga yang mengolah lahan milik.