Leonarda Cianciulli, Pembunuh yang Gunakan Darah Korbannya untuk Membuat Kue

By Nesa Alicia, Jumat, 26 Oktober 2018 | 17:47 WIB
Leonarda Cianciulli. (justcriminals.info)

Nationalgeographic.co.id - Leonarda Cianciulli lahir pada 18 April 1894 di Montella, Avellino. Cianciulli adalah seorang anak yang lahir dari hasil pemerkosaan. Sang ibu, Emilia di Nolfi dipaksa untuk menikahi pemerkosanya, Mariano Cianciulli setelah berita kehamilannya tersebar. 

Cianciulli dibesarkan di keluarga miskin. Pada awal abad ke-20, ia kehilangan ayahnya dan tak lama ibunya menikah lagi. Namun, hal itu tidak membuat kondisi keuangannya meningkat. Cianciulli kerap disiksa oleh ibunya dan membuat dirinya sempat mencoba bunuh diri sebanyak dua kali.

Menentang keinginan sang ibu, Cianciulli menikah dengan seorang petugas kantor pencatatan, Raffaele Pansardi, yang berusia jauh lebih tua darinya. 

Tidak mengikuti kemauan sang ibu untuk menikahi seorang pria kaya, Cianciulli merasa bahwa ibunya telah mengutuk pernikahannya. Meski tidak masuk akal, ia merasa hidupnya penuh kesengsaraan dan rasa sakit. 

Kemudian, pada tahun 1921, Cianciulli dan suaminya pindah ke kota Lauria. Sejak awal, mereka telah mengalami masalah keuangan, apalagi penghasilan Pansardi yang tak banyak.

Baca Juga : Pembantaian di Babi Yar, Bukti Kekejaman Nazi Pada Yahudi Soviet

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Cianciulli juga ikut bekerja. Pada tahun 1927, ia sempat ditangkap karena penipuan dan harus masuk ke penjara.

Setelah dibebaskan, Cianciulli dan Pansardi memutuskan untuk pindah ke Lacedonia, di provinsi Avellino, Italia. Mereka berharap dengan berpindah tempat, hidupnya akan menjadi lebih baik. Namun, tampaknya keinginannya tidak sesuai dengan kenyataannya. 

Rumah keduanya hancur akibat gempa bumi yang melanda tahun 1930. Tak lama, mereka pindah lagi ke Correggio, sebuah kota di Provinsi Reggio Emilia, Italia.

Di Correggio, mereka mulai mengalami peningkatan keuangan. Cianciulli mulai membuka sebuah toko sabun. 

Selama bertahun-tahun, Cianciulli telah mengalami 17 kali kehamilan di mana tiga anaknya keguguran, dan sepuluh anaknya meninggal di usia yang masih kecil.

Cianciulli sangat mempercayai takhayul seperti ramalan, astrologi dan pembacaan garis tangan. Peramal itu mengingatkan bahwa ketika dia menikah dan memiliki anak, mereka semua akan mati di usia muda. Hal ini membuat Cianciulli sangat protektif kepada empat anaknya. 

Cianciulli juga sempat bertemu dengan peramal lainnya. Dengan membaca garis tangan, peramal tersebut mengatakan bahwa dirinya melihat penjara di tangan kanan Cianciulli dan rumah sakit jiwa di sebelah kiri. 

Pada tahun 1939, Perang Dunia II terjadi dan Italia, yang dipimpin oleh fasis Benito Mussolini, berusaha memasuki perang di sisi Jerman. Mereka mulai merekrut untuk menjadi bagian militer dan Giuseppe Pansardi, putra tertua Cianciulli, telah ditunjuk untuk menjadi bagian dari Angkatan Darat Italia.

Hal ini membuat Cianciulli takut kehilangan Giuseppe karena Giuseppe adalah kesayangannya.

Untuk melindunginya, Cianciulli memutuskan satu-satunya cara yang dapat melindung anaknya yaitu dengan pengorbanan manusia. Tiga korbannya adalah Faustina Setti, Francesca Soavi, dan Virginia Cacioppo.

Baca Juga : Tiga Ayam Hitam dan Ayam Kuning Bagi Si Tak Kasat Mata dalam Tradisi Kerinci

Korban pertama adalah Faustina Setti yang merupakan kliennya sendiri. Ia mendatangi Cianciulli untuk meminta bantuan Cianciulli. Ya, Cianciulli telah menjadi seorang peramal dan memiliki reputasi yang cukup baik.

Faustina Setti adalah wanita setengah baya yang belum menikah dan ia sedang mencari seorang suami.

Selama kunjungannya, Cianciulli mengatakan kepadanya bahwa ada pasangan yang cocok untuknya di Pola (Kroasia modern) tetapi Cianciulli menyuruhnya untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang hal itu.

Setti juga disuruh untuk menulis surat dan kartu pos yang dapat dikirim kepada kerabat dan temannya setelah dirinya sampai di Pola. 

Pada hari keberangkatannya, Setti datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Cianciulli. Cianciulli memberikan minuman anggur yang membuat Setti pingsan. Tak lama, ia langsung membunuhnya dengan kapak, menarik tubuhnya ke dalam lemari, dan memotongnya menjadi sembilan bagian. Cianciulli juga mengumpulkan darahnya ke sebuah baskom.

Setelah ditangkap, Cianciulli mengatakan kepada pihak berwenang mengenai sisa-sisa tubuh Setti. Ia mengatakan bahwa dia memasukan potongan tubuh ke dalam panci, menambahkan tujuh kilo kaustik, dan mengaduknya sampai campuran tersebut berubah menjadi bubur yang kental dan gelap.

Kemudian, ia menuangkan ke beberapa ember dan membuangnya ke tangki septik terdekat.

Darah yang berada di baskom dibiarkannya hingga mengental sebelum di campurkan dengan tepung, gula, coklat, susu, telur, dan margarin untuk membuat kue. Hasil kuenya ia berikan kepada orang-orang dan sisanya dimakan oleh Giuseppe dan dirinya sendiri.

Menurut beberapa sumber, Cianciulli menerima uang dari Setti sebagai hasil bayaran untuk layanannya sekitar 30 ribu lira.

Korban kedua adalah Francesca Soavi, wanita paruh baya yang dijanjikan untuk mendapatkan prospek yang lebih baik daripada saat itu.

Cianciulli memberitahunya bahwa dia telah menemukan pekerjaan di salah satu sekolah khusus anak perempuan di Piacenza (saat ini Italia utara). Cianciulli juga meminta Soavi untuk menulis surat kepada temannya dan mengatakan untuk tidak memberitahukan kepergiannya kepada siapapun. 

Soavi kemudian datang menemui Cianciulli untuk terakhir kalinya sebelum keberangkatannya. Sama seperti Setti, Cianciulli memberinya minuman anggur yang membuat Soavi pingsan. Setelah itu, ia dibunuh dengan kapak. Pembunuhan tersebut dikatakan terjadi pada 5 September 1940.

Virginia Cacioppo menjadi korban terakhir pembunuhan yang dilakukan Cianciulli. Cacioppo adalah mantan penyanyi soprano. Cianciulli memberitahunya tentang adanya lowongan pekerjaan di Florence sebagai sekretaris untuk seorang impresario.

Sama seperti yang dikatakan kepada dua wanita lainnya, Cacioppo diperintahkan untuk tidak memberi tahu kepada siapapun tentang kepergianya. 

Pada 30 September 1940, Cacioppo datang untuk mengucapkan selamat tinggal pada Cianciulli. Cianciulli kemudian menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya di mana ia menggunakan daging Cacioppo dan mengubahnya menjadi sabun. 

Pembunuhan ini terungkap setelah saudara ipar Cacioppo curiga atas hilangnya Cacioppo secara tiba-tiba. 

Dia kemudian melaporkan kepada pihak berwenang setelah mengetahui bahwa Cacioppo terakhir kali terlihat memasuki rumah Cianciulli. Cianciulli pun kemudian ditangkap.

Pada awalnya, ia bersikeras membantah telah membunuh siapa pun. Namun, setelah Giuseppe diduga terlibat dalam pembunuhan Cacioppo, ia akhirnya mengakuinya. 

Baca Juga : Diskriminasi Tinggi, Albino di Afrika Selatan Hidup dalam Ketakutan

Pada tahun 1946, pengadilan menyatakan bahwa Cianciulli bersalah karena telah melakukan tiga pembunuhan dan dijatuhi hukuman 30 tahun.

Tidak hanya itu, Cianciulli juga diperintahkan untuk menghabiskan tiga tahunnya di rumah sakit jiwa.Pada 15 Oktober 1970, pada usia 76 tahun, Cianciulli meninggal di rumah tahanan wanita di Pozzuoli akibat menderita pitam otak dalam waktu yang lama.

Beberapa barang yang digunakannya saat membunuh seperti kapak dan baskom, ditampilkan di Museum Kriminologi di Roma.