Kisah Para Pengidap HIV/AIDS di Pantura Melawan Stigma Buruk Mayarakat

By National Geographic Indonesia, Jumat, 23 November 2018 | 08:00 WIB
Lokalisasi Janem. (Rahmad Azhar Hutomo)

 

Nationalgeographic.co.id - Malam belum larut ketika kami dan beberapa rekan dari LSM Resik serta WAPA (Warga Peduli HIV/AIDS) mengunjungi Janem atau warung kopi remang-remang di Sukamandi kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat.

Janem, akronim dari Jalan Enam atau Jalan Enem dalam dialek Cirebonan, merupakan jalan yang menghubungkan pemukiman warga dengan Jalan Nasional I atau Jalan Pantura . Sudah menjadi rahasia umum kalau di beberapa titik di jalur Pantura ini terdapat banyak warung kopi remang-remang di mana para wanita pekerja seks (WPS) menawarkan jasanya.

Menurut cerita warga sekitar Pantura Subang, warung-warung dadakan akan didirikan saat menjelang mudik Lebaran sebagai tempat beristirahat pemudik yang melewati jalur tersebut. Namun, setelah musim mudik selesai, warung itu pun dirobohkan.

Baca Juga : Studi: Ada Ketidakseimbangan Populasi di Negara Maju dan Berkembang

Tak lama kemudian, entah siapa yang memulai, satu persatu warung kembali muncul. Kali ini lebih permanen. Selain teh, kopi, dan mie instan, di warung tersebur tersedia kamar sederhana sebagai tempat melepas lelah bagi pengendara atau siapa saja yang mau beristirahat.

Kemudian, pemilik warung saling berlomba untuk menarik pelanggan dengan mendatangkan pramusaji perempuan berumur 20-40 tahun yang berasal dari daerah sekitar Patokbeusi-Sukamandi, Ciasem, dan dari daerah lain di Jawa Barat. 

Pengunjung, yang kebanyakan supir truk jarak jauh, sering mengunjungi warung ini, Di kamarnya biasanya tersedia tukang pijat atau WPS.

Di kawasan Sukamandi sendiri, terdapat sekitar 300 WPS. Artinya, setiap warung memiliki 2-4 pramusaji yang terkadang memberikan jasa seks. Janem yang dulunya gelap dan sepi di malam hari berubah menjadi daerah yang ramai. Pada akhirnya Jalan Enem ini pun berkonotasi negatif bahkan menjadi tengara jalan Pantura Subang.

Di antara warung-warung di Janem Sukamandi terdapat posko LSM. Posko ini menyediakan informasi mengenai penyakit HIV/AIDS dan para WPSdiwajibkan untuk mengambil jatah kondom. Sayangnya, masih banyak pelanggan yang enggan menggunakan kondom. Hal ini jelas mempercepat penyebaran virus HIV/AIDS dan membahayakan banyak pihak antara lain si pelanggan sendiri, WPS, dan pasangan mereka.

Graviti bertema HIV/AIDS (Rahmad Azhar Hutomo)

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan, sejak tahun 1999 hingga 2018, jumlah penderita HIV/AIDS di kabupaten Subang sebanyak 1.766 orang. Dengan jumlah sebanyak ini, Subang menempati posisi ke-6 tertinggi kasus HIV/AIDS dari 27 kabupaten di Jawa Barat. Wanita pekerja seks menjadi penyumbang tertinggi – jumlah yang tertular virus ini sekitar 545 orang.

Prihatin dengan angka penderita HIV/AIDS yang cukup tinggi di kabupaten Subang, PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field, menginisiasi program PANTURA (Pasukan Anti Penularan HIV/AIDS) yang bergerak dalam bidang penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, serta pengobatan dan pemberdayaan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

Program Pantura ini dilaksanakan oleh organisasi WAPA (Warga Peduli HIV/AIDS) yang berlokasi di desa Sukareja, kabupaten Subang. WAPA juga bekerja sama dengan masyarakat sekitar, dokter, tokoh agama, waria, ODHA, dan LSM.

Levi (35) anggota WAPA. (Rahmad Azhar Hutomo)

Salah satu tantangan bagi WAPA adalah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Perlakuan buruk terhadap ODHA merupakan bentuk diskriminasi yang muncul karena adanya prasangka negatif atau stigma.

Yanti (30 tahun), bukan nama sebenarnya, waria yang juga ODHA, mengalami diskriminasi dari tetangga di kampungnya. Sering kali ia tidak diijinkan untuk sholat di masjid. Piring atau gelas yang habis dipakainya langsung dibuang pemiliki warung.

Stigma terhadap ODHA ini begitu melekat karena penyakit ini sering dikaikan dengan penggunaan jarum suntik untuk obat terlarang, perilaku seks bebas serta hubungan seksual dengan sesama jenis. Padahal di luar itu, HIV/AIDS juga bisa ditularkan melalui transfusi darah, antara ibu dan bayi selama kehamilan, melahirkan, dan menyusui serta transplantasi organ. Tidak mudah menghilangkan stigma tentang ODHA.

“Di masyarakat, ODHA itu identik dengan penyakit kotor,” tutur Levi (35 tahun) salah satu waria pengidap HIV sekaligus anggota WAPA yang aktif mendorong sesama ODHA untuk terus meminum obat antiretroviral (ARV).

Menurut Bactiar Rivai, dokter yang bertugas di klinik Sahabat Pantura, jika ODHA rutin meminum ARV maka harapan hidupnya lebih panjang. ARV dapat meredam virus agar tidak menyerang pertahanan tubuh.

Klinik Sahabat Pantura ini dibangun sebagai bentuk kepedulian sosial PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field. Sebvelum ada klinik Sahabat Pantura, untuk memperoleh ARV, pengidap HIV/AIDS ini harus menumpuh jarak sekitar 70 kilometer dari wilayah Pantura ke RSUD Ciereng, Subang.

Jarak yang jauh serta kendala transportasi menyebabkan sebagian besar ODHA di wilayah Pantura tidak rutin meminum obat. Padahal, ARV harus diminum secara rutin seumur hidup. Puskemas Pamanukan juga merupakan satu-satunya puskesmas yang memiliki klinik HIV/AIDS.

Obat antiretroviral. (Rahmad Azhar Hutomo)

Selain pemberian ARV, klinik ini juga melayani VCT (Voluntary Counselling and Testing) atau tes HIV serta konseling dengan aktivis HIV/AIDS. Selama setahun berdiri, sudah ada bantuan ARV kepada 55 orang dan VCT 538 orang.

Selain klinik ada 2 program lain yaitu KASIH PANTURA (Kampung Edukasi Pencegahan HIV/AIDS Ramah Lingkungan) dan Oemah Ngariung. KASIH PANTURA bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang HIV/AIDS, ODHA, dan pencegahan penyebaran penyakit HIV/AIDS.

Begitu memasuki desa Sukareja, kita akan disuguhkan dengan mural-mural berisi informasi mengenai HIV/AIDS yang diharapkan dapat mengedukasi masyarakat sekitar. WAPA juga aktif memberikan penyuluhan dan VCT ke sekolah-sekolah di sekitar Subang sebagai salah satu tindakan pencegahan penyebaran HIV/AIDS.

Baca Juga : Mengenal Pneumonia, Penyakit Radang Paru-paru yang Diderita Stan Lee

Sementara itu, Oemah Ngariung, merupakan salah satu program pemberdayaan ODHA. Di Oemah Ngariung terdapat mini market dan angkringan. Di mini market ini dijual hasil kerajinan ODHA seperti keset kaki, cempal, tas rajut, dan bros. WAPA juga mengadakan pelatihan pembuatan kerajinan tangan kepada ODHA kemudian mereka bisa melanjutkannya di rumah masing-masing dengan alat dan bahan yang sudah disediakan. Produk mereka ini nantinya akan dijual ke minimarket.

Selain memberikan mata pencaharian bagi para ODHA, kegiatan ini juga menambah keahlian dan mengisi waktu luang mereka.

Levi yang mengidap HIV selama 4 tahun pun giat untuk menyebarkan info mengenai HIV/AIDS. Selain itu, setiap 3 bulan, bersama dengan petugas dari dinas kesehatan, ia melakukan VCT di Janem Patokbeusi-Sukamandi.

Melihat teman-temannya meninggal akibat penyakit ini menjadi alasan baginya untuk terus berjuang. Kegiatan prostitusi di Janem Patokbeusi-Sukamandi memang belum bisa dihentikan sepenuhnya, tapi paling tidak ia bisa membantu mengurangi penyebaran HIV/AIDS.

Jika ada pramusaji yang mengidap HIV maka dengan cepat ia rujuk untuk datang ke klinik Sahabat PANTURA di puskesmas Pamanukan. Harapan terbesarnya adalah ODHA bisa hidup berdampingan tanpa stigma buruk dari masyarakat.

Penulis: Sysilia Tanhati