Awalnya, Iksal sempat bersekolah di sekolah umum. Namun, pihak sekolah ternyata tidak mendukung proses pembelajaran untuk penyandang disabilitas seperti Iksal. Tidak hanya teman sebaya yang selalu mengejek, guru-guru juga meremehkan Iksal yang sulit mengikuti kegiatan di sekolah karena penyakitnya.
Situasi yang tidak menyenangkan tersebut membuat Iksal merasa minder dan terpaksa keluar dari sekolahnya. Selama tiga bulan, bocah berusia 11 tahun ini hanya belajar di rumah sebelum akhirnya bergabung dengan Dreamable pada pertengahan Oktober ini.
“Sekarang mah Iksal seneng sekolah di sini. Katanya gurunya baik-baik dan nggak ada yang marahin lagi,” ungkap Ida.
Skeptis dan terbatasnya fasilitas
Meski begitu, tidak semua orangtua seperti Wati dan Ida. Menurut Yuli, masih banyak orangtua yang tidak ingin menyekolahkan anaknya. Mereka merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus sehingga cenderung menyembuyikannya di dalam rumah. Selain itu, para orangtua ini juga skeptis terhadap kemampuan anaknya dan menganggap mereka tidak berguna.
“Orangtua yang ‘bandel’ ini membuat saya sedih. Makanya saya tidak pernah berhenti untuk mengajak mereka untuk menyekolahkan anaknya. Anak-anak ini juga manusia dan berhak mendapat pendidikan,” tutur Yuli.
Untuk ABK yang tidak diperbolehkan pergi ke sekolah, Yuli pun memberlakukan Kelas Kunjung. Seminggu sekali, biasanya Yuli akan datang ke rumah mereka sambil membawa alat edukasi. Meski kadang ditolak mentah-mentah, tetapi ibu empat anak ini tidak pernah menyerah.
Tak dapat dimungkiri, salah satu kesulitan yang dialami Yuli adalah terbatasnya dana.
“Banyak orangtua ABK yang berpikir bahwa dengan mengemis saja mereka sudah bisa mendapat uang. Jadi, tidak perlu belajar. Namun, saya ingin sekali mengajak mereka bersekolah karena mumpung masih mudah dibentuk karakternya,” imbuhnya.
Selain penolakan orangtua, tak dapat dimungkiri bahwa kesulitan lain yang dialami Yuli adalah terbatasnya dana dan fasilitas. Rumahnya yang tidak begitu besar akan sulit menampung lebih banyak anak ABK. Kegiatan dalam Program Dreamable pun tidak bisa sering-sering dilakukan di luar ruangan, seperti piknik atau berenang, karena tidak ada biaya dan transportasi.
Melihat hal ini, PT Pertamina TBBM Bandung Group yang berlokasi tidak jauh dari Sekolah Inklusi Hidayah, ke depannya berencana memberi bantuan berupa bangunan sekolah dan mobil antar-jemput khusus murid ABK. Saat ini, CSR Pertamina sudah menyerahkan alat-alat tulis dan bahan pembelajaran, serta seragam olahraga untuk anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.
Keinginan untuk membantu ini tidak begitu saja datang. PT Pertamina TBBM Bandung Group sudah terlebih dahulu memiliki program OMABA, Ojek Makanan Balita, yang terfokus pada pengentasan gizi buruk di sana.
Andi Ramadhan, Head Operation PT Pertamina TBBM Bandung Group menceritakan bahwa dalam pelaksanaan OMABA, Andi dan tim melihat adanya usaha tulus Yuli beserta pengajar lainnya dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sana. Tanpa ragu, PT Pertamina TBBM Bandung Group akhirnya memutuskan untuk ikut terlibat membantu.
Ia berharap, dengan adanya program Dreamable anak-anak berkebutuhan khusus di Sekolah Inklusi Hidayah nantinya dapat lebih mandiri.
Baca Juga : Melihat Rumah Adat dan Kain Tenun Khas Kampung Adat Prailiu
Sejalan dengan Andi, Yuli ingin murid-murid ABK di Sekolah Inklusi Hidayah bisa mengenyam pendidikan yang sama, meski berasal dari keluarga yang kurang berada. Yang lebih penting, ia ingin anak-anak ini bisa mengurus dirinya sendiri. “Setidaknya, kalau anggota keluarganya sudah tidak ada, mereka dapat mengurus dirinya sendiri,” kata Yuli.
Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Yuli selain melihat anak-anak didiknya bisa melakukan kegiatan sehari-hari, mulai dari yang terkecil seperti makan, membersihkan kotoran, mandi, dan memakai baju sendiri.
“Rasa senangnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata ketika melihat mereka mulai mandiri secara bertahap,” pungkasnya.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR