Nationalgeographic.co.id - Saat ini, di media sosial, sedang ramai tren #10YearChallenge. Beberapa pengguna sosial membagikan foto-foto mereka dari sepuluh tahun lalu, kemudian membandingkannya dengan penampilan mereka saat ini.
Meski sebagian foto menunjukkan bahwa mereka semakin menarik seiring berjalannya waktu. Namun, itu tidak terjadi pada Bumi. Kondisi planet kita semakin parah dan perlahan-lahan kehilangan keindahannya.
Berikut #10YearChallenge terkait lingkungan yang dibagikan para pengguna media sosial, dilansir dari IFL Science:
2009/2019#10yearchallenge pic.twitter.com/f850gp1f6v
— Y4WC (@youth4wildlife) January 15, 2019
Gambar yang dibagikan Y4WC tersebut menyoroti perubahan Bumi yang paling terlihat, yaitu kerusakan hutan. Menurut data di 2017, kita kehilangan hutan seluas 40 lapangan bola dalam setiap menit, kira-kira sekitar 15,8 juta hektar. Dan antara 2009 hingga 2019, hutan hujan Amazon kehilangan wilayahnya sekitar 60 ribu kilometer persegi.
Hutan sendiri sangat bermanfaat untuk menyimpan karbon dan membantu mengurangi dampak emisi karbon. Jika terus kehilangan mereka, maka kita juga akan kehilangan satwa dan tanaman yang hidup di dalamnya–termasuk orangutan seperti gambar di atas.
Baca Juga : Pencairan Es di Antartika Meningkat 6 Kali Lipat, Bagaimana Dampaknya?
Dalam unggahan WWF tersebut, kita bisa melihat pengaruh pemanasan global di Kutub Utara selama sepuluh tahun. Menurut NASA, es laut di sana telah menghilang sebanyak 12,8% dalam satu dekade. Ini akan menyebabkan permukaan laut di dunia semakin naik.
Take a moment today to remember our biggest #10YearChallenge!
We must act now, change our lifestyles and hold our leaders accountable. We may not get more than another 10 years to do so. #GlobalWarming #ClimateChange pic.twitter.com/MNnNgQ0EX9
— Rajat Rai Handa (@rajatraihanda) January 16, 2019
Kedua peta dari NASA ini memperlihatkan bagaimana Bumi semakin menghangat dalam sepuluh tahun terakhir (dari 2007 hingga 2017). Diketahui bahwa sejak awal Revolusi Industri, planet ini telah memanas sekitar 1° C. Kita perlu mencegah agar pemanasan ini tetap di bawah 1,5° C, jika tidak ingin menghadapi bencana iklim yang mematikan.
Our continual survival and that of our kids lies on us to do more in keeping our environment biodiversity wildlife and water bodies safe and secured.#10YearChallenge #SayNoToGalamsey #OurFutureMatters #ProtectNature #SavePlanetEarth pic.twitter.com/ONXiSQLhim
— Ghana Wildlife Society (@ghwildlifesoc) January 16, 2019
Gambar di atas menunjukkan efek pencemaran akibat pertambangan emas di sungai-sungai di Ghana. Diperkirakan 75% sungai dan saluran air Ghana telah tercemar akibat praktik tersebut.
Foto mengenaskan lain akibat perubahan iklim di Bumi digambarkan dengan keadaan beruang kutub saat ini. Hewan ini mengandalkan es laut untuk berburu anjing laut yang menjadi makanannya. Namun, karena es-es di kutub mencair, maka mereka tidak dapat menemukan cukup makanan sehingga tubuhnya semakin kurus. Meski sebagian populasinya saat ini cukup stabil, tapi jumlah beruang kutub akan menurun 30% pada 2050.
Lautan yang memanas memiliki dampak suram pada terumbu karang dunia. Mereka mengalami fenomena yang disebut dengan pemutihan. Setengah dari semua karang di Great Barrier Reef utara Australia telah mati sejak 2016, dan kemungkinan tidak akan pernah bisa pulih.
Baca Juga : Hewan Laut Mengira Sampah Plastik Sebagai Makanan, Mengapa?
Dunia baru-baru ini mulai tersadar akan masalah plastik yang memenuhi lautan dan membuat hewan-hewan di dalamnya mati akibat tersedak sampah. Menurut sebuah data, manusia telah membuang 80 juta ton plastik ke laut setiap dekade. Dan pada 2050, jumlah sampah plastik di sana diduga akan lebih banyak dibanding ikan.
Meski kondisi Bumi semakin parah dalam sepuluh tahun, tapi kita tidak boleh kehilangan harapan. Masih ada cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan yang semakin parah dan menjaga keberlangsungan hidup Bumi. Bisa dimulai dari diri sendiri melalui hal-hal kecil, juga peran pemerintah agar membuat kebijakan yang ramah lingkungan.
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR