Nationalgeographic.co.id - Para ilmuwan mengenalkan "diet planet sehat" yang bermanfaat untuk menjaga Bumi dari bencana alam dan memastikan bahwa makanan yang ada cukup untuk populasi penduduk yang terus meningkat.
Diet ini mengharuskan penggunanya untuk membatasi konsumsi daging merah. Mengurangi asupannya hingga dua kali lipat dibanding sebelumnya.
Konsumsi gula dan susu juga harus dikurangi, kemudian menggantinya dengan kacang-kacangan, buah, sayuran, lentil dan buncis.
Baca Juga : Daur Ulang Semua Limbah Plastik di Dunia, Maka Anda Bisa Membeli Apple dan Perusahaan Besar Lainnya
Jika diet planet sehat dapat dilakukan, maka itu akan meminimalisasi bahaya dari perubahan iklim, deforestasi, serta punahnya spesies tanaman dan hewan yang ada di Bumi.
"Kita membutuhkan perombakan yang signifikan. Harus mengubah sistem pangan global pada skala yang belum pernah dilakukan sebelumnya," kata Profesor Tim Lang, peneliti dari University of London.
Diperkirakan bahwa populasi dunia akan mencapai 10 miliar pada 2050. Namun, kesehatan manusia dan sumber daya di Bumi semakin berkurang. Apalagi, semakin banyak orang yang beralih ke pola makan berkalori tinggi.
Melihat hal tersebut, 37 ahli dari 16 negara yang ahli di bidang kesehatan, gizi, kelestarian lingkungan, ekonomi, dan politik, mencoba menyusun diet seimbang yang baik untuk manusia serta planet yang menjadi tempat tinggal kita.
Solusinya, berdasarkan pemodelan statistik yang dilakukan selama tiga tahun, sekitar 35% kalori yang dikonsumsi manusia harus berasal dari biji-bijian, umbi, dan protein nabati.
Sementara itu, daging sebaiknya hanya dikonsumsi satu atau dua minggu sekali–bukan sebagai menu utama yang dikonsumsi setiap hari.
Pergeseran ke makanan yang berasal dari tanaman ini, dapat mencegah alih fungsi lahan sebagai peternakan dan produksi kelapa sawit.
"Dengan mendefinisikan dan mengukur ulang sistem pangan, maka diet planet sehat ini diharapkan dapat menjaga kesehatan manusia dan memelihara kelestarian lingkungan," tutur Profesor Johan Rockstrom, peneliti studi dari Postdam Institute for Climate Change.
Source | : | The Independent |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR