Nationalgeographic.co.id - Permasalahan sampah di laut tengah menjadi sorotan dunia.Tidak hanya media, masyarakat awam pun ikut serta mengamati hal tersebut. Terlebih lagi setelah seekor paus sperma di Wakatobi ditemukan tewas dengan 5,9 kilogram sampah di dalam perutnya.
Tidak hanya paus, beberapa hewan laut malang seperti lobster, ikan pari, lumba-lumba, anjing laut, dan ubur-ubur, turut menjadi korban jeratan sampah plastik. Bahkan seekor paus Sei, paus langka yang terdampar di North Carolina, ditemukan dalam keadaan tidak sehat dengan plastik di tenggoroknya.
Peristiwa ini bukanlah hal yang mengherankan, mengingat produksi tahunan plastik di dunia meningkat hampir 200 kali lipat sejak tahun 1950. Jumlahnya menjadi 7,8 miliar ton pada tahun 2015.
Namun, yang menyedihkan, hanya 20% sampah plastik yang kemudian didaur ulang. Pada akhirnya, menurut data Enviroment Agency Austria dan Medical University of Vienna, sekitar 10 miliar ton sampah plastik berakhir di lautan setiap tahunnya.
Baca Juga : Ribuan Spesies Binatang Berisiko Punah Karena Ulah Tangan Manusia
Untuk turut berperan dalam mengatasi masalah ini, sebenarnya tidak perlu melakukan hal besar seperti pergi ke lautan dan menjaring sampah plastik yang ada. Beberapa hal kecil dapat Anda lakukan sebagai solusi akan permasalahan sampah plastik. Salah satunya adalah dengan perilaku memilah sampah untuk didaur ulang.
Pisahkan tempat sampah di rumah untuk sampah plastik maupun non plastik. Fungsinya adalah untuk meminimalkan kemungkinan tercecernya sampah plastik sebelum sampai di TPA maupun tempat daur ulang sampah.
Bila Anda berada di luar rumah, biasakan juga membuang sampah pada tempatnya, sesuai dengan kategori tempat sampah tersebut. Lebih baik lagi bila mengurangi penggunaan wadah plastik sekali pakai.
Mengurangi penggunaan wadah plastik sekali pakai sebenarnya adalah hal yang mudah, tetapi bagi sebagian besar orang, hal ini sulit untuk dilakukan karena mereka terbiasa dengan kebiasaan yang tak ramah lingkungan.
Kelana (bukan nama sebenarnya) misalnya, seorang mahasiswa asal Jakarta yang mengandalkan air minum kemasan dalam kegiatannya sehari-hari. Ia tidak membawa wadah minum sendiri karena alasan mobilitas tinggi.
“Lebih memilih yang sekali minum tinggal dibuang. Tidak perlu repot,” tuturnya.
Bila kemasan plastik sekali pakai tadi dibuang pada tempatnya dan berakhir pada fasilitas daur ulang, hal tersebut tentu tidak akan menjadi masalah. Namun permasalahannya adalah perilaku seperti ini tidak dimiliki oleh semua orang. Kemasan plastik sekali pakai bisa saja kemudian masuk ke dalam saluran air dan berakhir di laut.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR