Nationalgeographic.co.id - Kota Yogyakarta didirikan pada tahun 1756. Cukup panjang sejarah perjalanan Yogyakarta sebagai sebuah kota yang saat ini telah menjadi destinasi wisata sejarah, budaya, seni tradisi, hingga kuliner. Elemen utama kota tua Yogyakarta adalah wilayah Keraton dan Kota Gede.
Di antara keduanya, terdapat satu wilayah yang turut mewarnai perkembangan kota, Ketandan–kompleks permukiman masyarakat Cina Yogyakarta sejak awal abad 19 masa Kapitan Tan Jin Sing (KRT Secodiningrat) menjadi sosok pimpinan warga Cina yang tenar di kalangan Keraton, masyarakat Jawa dan Eropa. Tempat awal munculnya kuliner kesohor, bakpia tiga roda dan mi Ketandan.
Ketandan juga merupakan tempat asal muasalnya Jamu Sidomuncul dan tempat kelahiran dokter mata terkenal di Yogyakarta, Dokter Yap. Tak hanya itu, Ketandan pernah menjadi sentra keramaian musiman–pada saat musim panen tiba! Letaknya di pusat kota, tak jauh dari Pasar Beringharjo dan Jalan Malioboro.
Baca Juga : Blanko Merah yang Menautkan Kisah Batik Tiga Negeri Di Pulau Jawa
Hanjian (91) masih mengingat masa mudanya di Ketandan. Ia datang ke Indonesia menumpang kapal laut pada tahun 1940 dari sebuah pelabuhan kecil di Cina yang tak ia kenal namanya, saat itu ia berusia 10 tahun. Ia berangkat bersama ayah dan kakaknya. Ayahnya telah lebih dulu merantau ke Jawa kemudian kembali menjemput Hanjian dan kakaknya. Mereka sempat ketinggalan kapal dan menunggu satu tahun di wilayah pelabuhan tersebut dengan berpindah-pindah penginapan. Sampai akhirnya kapal yang membawa ke Surabaya pun datang tepat satu tahun kemudian.
Mereka tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya setelah satu minggu berlayar. Hanjian muda pindah dari Surabaya ke Yogyakarta pada tahun 1960 dan menetap di salah satu rumah Kongsi, alias rumah yang digunakan untuk menampung orang-orang Cina perantauan yang datang ke Yogyakarta masa itu.
“Aku tamu anyaran (tamu baru datang), soko (dari) Hokkian neng (ke) Ketandan. Papae nyandu, nyandu neng Mbambon tempat ‘nyeret’ (papa(ku) nyandu Mbambon, itu tempat ‘nyeret’ – istilah untuk menggunakan candu). Mbambon itu tempate Cek Mou Yang, sama tempate Yo Hok G(k)ian,” ujarnya mengingat masa kedatangannya dan ayahnya yang suka menggunakan candu. Ia pun menyebutkan bahwa rumah kongsi yang ia tinggali merupakan tempat ‘nyandu’ yang tertutup.
Rupanya, bisnis candu dan bisnis emas merupakan bisnis favorit di Ketandan pada masa awal abad 20 seperti yang sempat disebutkan oleh Peter Carey dan James Rush (dalam bukunya Opium to Java).
“Toko emas yo banyak. Musim panen yo rame. Jaman Belanda rame, jaman Jepang sepi. Merdeka ra pati rame. Dulu rame toko Mbah Kendil, sama Toko Salaman! Kendil tutup,” ujar Hanjian sambil duduk bercerita ditemani menantunya, Heri Mulyono (60) yang lahir serta tumbuh besar di Ketandan.
Ketika Heri berusia 17 tahun, ia pindah dari Ketandan bersama orangtuanya. Saat ini ia tinggal di Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping bersama dengan Engkong Hanjian yang pindah dari Ketandan ke Nogotirto pada tahun 2017.
“Dulu ada Hotel Sinar, Hotel Ketandan, tempat saya main. Ada pabrik roti Arkansas, besar sekali, sudah tutup. Oiya, ada agen rokok Rokok Pompa, tempat (saya) belajar ngerokok,” ujarnya terkekeh.
Ia pun merunut kenangannya pada Ketandan. Heri menyebutkan sederetan bangunan-bangunan di Ketandan mulai dari tilas kampus UPN (1970), komplek rumah AURI (1971), bekas sekolah Tionghoa (1966-1968) yang sudah pindah ke wilayah Kranggan kini menjadi Sekolah Bhineka Tunggal Ika. Menurutnya, Ketandan sekarang telah berubah wajah, pergaulan warganya sangat cair karena beragam suku etnis tinggal di wilayah tersebut seperti orang Jawa dan orang Banjar yang turun temurun berbisnis emas di Ketandan.
Engkong Hanjian, tidak punya nama Indonesia, fasih berbahasa Jawa. Ingatannya pada Ketandan masih tajam walaupun tak banyak lagi kawan-kawan lamanya yang bisa ia jumpai.
“Kebanyakan ditinggal mati e,” ujarnya singkat. Ia renta, pendengaran pun kurang sempurna, tapi ingatannya masih tajam.
Kenangan Hanjian dan Heri Mulyono sangat berharga menjadi serpihan ingatan sejarah tentang perkembangan kota tua dari kalangan non elit. Tentu masih banyak lagi serpihan ingatan Ketandan yang patut digali, didengarkan dan dituliskan.
Ketandan bertransformasi dengan segala dinamikanya. Setahun sekali, Ketandan menjadi tempat perayaan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, tentu bukan hanya perayaan dan pesta namun bagaimana warga dan komunitasnya menghargai tradisi, keberagaman, dan menghidupkan denyut ekonomi di wilayah berusia lebih dari 250 tahun ini.
Goei Manubowo (59) menyewa sebuah toko di perempatan pertama setelah gerbang Kampung Ketandan dari arah Jalan Malioboro. Tak sulit menemukan tokonya yang berada tetap di perempatan dan berwarna merah hitam. Toko yang menjual alat tulis dan pernak-pernik ini telah beroperasi dari tahun 1992. “Ini warnanya unik ya, sering disangka klenteng oleh orang-orang atau tamu yang lewat,” ujarnya sambil menceritakan masa jaya Ketandan ketika usaha toko emas di wilayah itu menjadi jujugan warga Yogyakarta.
“Dari Gunung Kidul, Wonosari, Wates, ke sini semua. Tahun 1970an itu luar biasa, jam 8 pagi sudah buka, jam 7 itu antrian sudah panjang,” ujarnya ketika saya menjumpainya sedang berjalan santai bersama anjing kesayangannya – Loki. Ia mencoba mengingat perkembangan Ketandan.
“Jaman saya kecil, Jalan A. Yani itu Pecinan. Sekarang pemiliknya beragam. Pemilik terdahulu sudah banyak yang pindah. Ketandan ini sudah diresmikan sebagai China Town. Tiap tahun ada acara Pekan Budaya Tionghoa. Ya ramai acaranya,” ujarnya.
Menurutnya, selama tujuh tahun belakangan ini banyak pendatang atau wisatawan yang hilir mudik di Ketandan, sekedar jalan-jalan atau foto-foto. Hari-hari biasa cukup ramai karena efek dari kegiatan pariwisata di Yogyakarta. Namun ada hal detil yang ia kritisi sambil tertawa,”di sini China Town katanya, tapi ndak ada Chinese restoran.”
Ia menyebutkan beberapa restoran masakan Cina masyur sejak awal dibuka dan masih bertahan hingga saat ini. “Ada restoran Mahkota di Pajeksan, rumah makan Lijiong di Gondomanan, ada restoran Sintawang makanan seafood di Jalan Magelang,” tandasnya.
Baca Juga : Di Vietnam, Daging Tikus Menjadi Makanan Populer yang Digilai
Pukul lima sore, ia mulai berkemas dibantu isterinya yang juga lahir di Ketandan. Ia melambaikan tangan dan memasuki mobil. “Jangan lupa, kulineran ya!” ujar Manubowo.
Saya membalas lambaiannya dan menyusuri kawasan Ketandan sampai ke Pasar Beringharjo. Bangunan-bangunan lawas sebagian tampaknya belum berubah bentuk. Ada yang membuat saya tertarik yaitu gambar jangkar di beberapa tembok rumah, tepat di dekat tepi atap. Saya mengenal simbol jangkar itu mirip dengan salah satu simbol agama Nasrani.
Entah apa arti gambar jangkar tersebut bagi masyarakat yang dahulu berdomisili dan membuat gambar tersebut di rumah-rumah Ketandan.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR