Nationalgeographic.co.id - Sri Lanka sudah lama jadi sasaran kekerasan ekstremis. Pengeboman berencana pada hari Minggu Paskah, yang menewaskan hampir 300 orang dan melukai ratusan lainnya, merupakan yang terbaru dalam sejarah panjang tragedi yang berkaitan dengan agama dan etnis di Sri Lanka.
Sesudah pengeboman, polisi menahan 24 orang dan tiga polisi terbunuh dalam penyergapan ini.
Pemerintah Sri Lanka mengkambinghitamkan Jamaah Tauhid Nasional (NTJ), kelompok Islam radikal yang dikenal suka merusak patung-patung Buddha, sebagai otak di balik serangan di hari Minggu Paskah tersebut.
Namun kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah mengklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ledakan bom yang terjadi.
Serangan-serangan ini beda dengan kekerasan agama dan etnis yang terjadi di Sri Lanka sebelumnya. Dengan mengobarkan kebencian terhadap agama tertentu, mereka tampaknya memiliki lebih banyak kesamaan dengan Al-Qaeda, yang ingin mengubah sistem politik.
Baca Juga : Mariam Nabatanzi, Perempuan yang Memiliki 44 Anak dan Mengurusnya Seorang Diri
Bagi banyak orang, ledakan bom tersebut mengingatkan mereka pada perang saudara etnis Sri Lanka. Perang tersebut terjadi antara kelompok Macan Pembebasan Tamil Eelam (Macan Tamil) dan pemerintah Sri Lanka dari tahun 1983 hingga 2009.
Pada minggu-minggu terakhir perang, sekitar 40.000 warga sipil etnis Tamil terbunuh, sehingga jumlah keseluruhan korban tewas mencapai 100.000 jiwa dari sekitar 20 juta populasi Sri Lanka.
Macan Tamil benar-benar hancur pada tahun 2009. Banyak dari anggotanya, termasuk pemimpin mereka, dieksekusi mati. Etnis Tamil masih memendam kebencian terhadap etnis mayoritas, Sinhala, tetapi mereka tidak berniat untuk mengulang sejarah kelam yang berakhir buruk tersebut.
Sejarah kerusuhan
Sebelum meraih kemerdekaan di tahun 1948, ketegangan etnis di Sri Lanka memang sudah tinggi. Kemenangan Partai Freedom Party tahun 1956 di bawah Perdana Menteri Solomon Bandaranaike memperparah ketegangan etnis yang ada.
Bandaranaike menyebut dirinya sebagai “pembela budaya Sinhala yang terkepung” dan memprakarsai pembentukan Undang-Undang Sinhala. Undang-undang tersebut mengistimewakan penduduk Sinhala sebagai mayoritas di negara tersebut dan menetapkan Buddha, sebagai agama mayoritas di atas minoritas Hindu dan Muslim Tamil. Undang-undang ini berdampak pada pemaksaan Bandaranaike untuk mundur. Pada 1959, ia dibunuh oleh seorang biksu Buddha ekstremis.
Ketegangan antar-etnis berlanjut dengan banyaknya kekerasan yang melibatkan massa. Pada 1962, terjadi percobaan kudeta militer, dan tahun 1964, sekitar 600.000 generasi ketiga “India” Tamil dipindahkan secara paksa ke India.
Pada 1972, dan sekali lagi pada 1987, partai berhaluan Marxis, Janatha Vimukthi Peramuna (JVP), yang didominasi orang Sinhala melancarkan pemberontakan berdarah. Bentrokan antara Sinhala dan Tamil pada 1983 menyebabkan serangan terhadap konvoi tentara Sri Lanka. Bentrokan yang juga dikenal sebagai “Juli Kelam” ini memicu kemarahan warga Sinhala terhadap etnis Tamil, yang menewaskan sedikitnya 3.000 orang dan menandai dimulainya perang saudara.
Perang ini terkenal sebagai sejarah kelam Sri Lanka. Macan Tamil menggunakan bom bunuh diri sebagai senjata taktis untuk membunuh tokoh politik. India turut ikut campur dalam perang sipil ini pada 1987. Sebagai balasan, seorang pengebom bunuh diri Macan Tamil membunuh mantan Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi, pada tahun 1991.
Kekerasan ekstremis bukanlah hal baru
Sebagian besar Muslim di Sri Lanka adalah etnis Tamil. Jumlah mereka setidaknya 10% dari populasi. Muslim Tamil masuk ke dalam ketegangan yang lebih baru–dikucilkan sebagai penutur bahasa Tamil, tetapi mereka juga berselisih dengan lebih banyak orang Tamil Hindu. Mereka juga telah lama menjadi sasaran persekusi etnis Sinhala, dengan kerusuhan anti-Muslim yang terjadi setidaknya sejak awal abad ke-20.
Ketika perang Macan Tamil berlangsung, umat Buddha Sinhala menjadi lebih radikal. Beberapa orang Sinhala menyatakan bahwa semua orang di Sri Lanka harus beragama Buddha saja. Dengan kalahnya Macan Tamil, komunitas non-Buddhis Sri Lanka kembali dipersekusi. Aksi ini berpuncak pada tahun 2013 dengan serangan dari kelompok Buddhis pada sebuah masjid. Kerusuhan anti-Muslim pada tahun 2014 mengakibatkan keadaan darurat selama sepuluh hari. Tahun lalu, kerusuhan anti-Muslim lebih banyak terjadi. Para biksu Buddha juga kerap mengganggu ibadah gereja Kristen.
Sejarah kekerasan ekstremis Sri Lanka tidaklah muncul kemarin sore. Sentimen kelompok Buddhis Sinhala telah menjadi penyebab kuat konflik ini. Mungkin pengeboman Kolombo Timur merupakan reaksi terhadap penganiayaan etnis yang terjadi baru-baru ini.
Namun jika demikian, ini menimbulkan pertanyaan mengapa gereja-gereja Kristen dan hotel-hotel kelas atas yang menjadi target pengeboman, bukannya simbol komunitas Buddhis Sinhala. Kita bisa berspekulasi tentang logika radikalisasi dan kemungkinan manifestasinya.
Ada kemungkinan bahwa, jika diilhami oleh kelompok Islam, pengeboman itu bukanlah pembalasan langsung atas kerusuhan anti-Muslim tahun lalu, tetapi bagian dari agenda jihad yang lebih luas, ada indikasi bahwa ledakan ini merupakan respons atas penembakan yang terjadi di dalam mesjid di Christchurch, Selandia Baru oleh teroris ekstrem kanan Australia.
Baca Juga : Bukan Saat Lansia, Di Usia inilah Manusia Paling Merasa Kesepian
Ketika para tersangka teroris ditangkap dan senjata telah ditemukan oleh pihak keamanan di Sri Lanka, tiga polisi tertembak mati. Jelas, siapa pun yang bertanggung jawab pasti seorang penembak jitu dan mungkin terafiliasi dengan jaringan teroris internasional. Dugaan ini mendukung spekulasi bahwa pejuang ISIS yang kembali telah bergabung dengan NTJ .
Pemerintah Sri Lanka dinilai lamban dalam merilis rincian siapa yang bertanggung jawab atas ledakan ini, karena tahu ketegangan etnis dan agama dapat muncul karenanya. Identifikasi oleh pemerintah dapat dijadikan kendaraan untuk memulai pertumpahan darah antar etnis lainnya.
Jika keterlibatan NTJ terbukti, atau jika elemen-elemen yang lebih radikal dari komunitas Buddhis terpengaruh oleh spekulasi lebih luas, kemungkinan besar Muslim Tamil di Sri Lanka akan menanggung beban pembalasan mereka. Dengan cara inilah roda konflik agama dan etnis Sri Lanka berjalan.
Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris
Damien Kingsbury, Professor, School of Humanities and Social Sciences, Deakin University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR