Nationalgeographic.co.id - Sesaat setelah mendarat di bandara perintis Ewer, kami bergegas meninggalkan pesawat berbaling-baling tunggal Cessna 208B yang membawa kami dari Timika menuju area terminal kedatangan. Sebuah bangunan kecil, tidak terawat yang lebih menyerupai kantor kas bank plat merah di pedalaman. Namun tentu saja Ewer sendiri merupakan pedalaman bagi sebagian besar warga kota besar di Indonesia. Banyak dari kita yang mungkin baru sekali ini mendengar ada sebuah distrik bernama Ewer.
Di samping kiri bangunan terminal berdiri satu bangunan yang terlihat unik. Dengan lebar 10 meter dan panjang sekitar 30 meter, beratapkan daun sagu, dan susunan horisontal kayu penopang, memberikan kesan tradisional yang kuat.
Kami bertanya kepada Pak Harun Desnam, seorang motorist (pengendara longboat) yang bertugas menjemput kami dari bandara Ewer menuju ke Agats. “Pak Harun, itu bangunan apa?” tanya kami. “Itu Jew” jawabnya.
Satu persatu, kami bergegas menaiki longboat yang sudah disiapkan. Sosok pria tua, berkulit hitam, dengan usia 50-an tahun ini terlihat terampil mengendarai longboat. Perjalanan kami menyusuri sungai dengan lebar 100 meter pada pagi hari yang sejuk ini disambut oleh pemandangan beberapa burung bangau yang sedang mencari ikan di tepian sungai.
Baca Juga : Aksi Konservasi Bakau Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Bangkalan
Pagi itu terasa sepi, hanya ada lima longboat yang berpapasan selama 30 menit perjalanan menuju Agats. Sangat kontras dengan waktu yang sama di Jakarta. Sinyal telepon pun hilang sejurus dengan longboat kami yang melaju kencang ke arah Agats.
Tidak terasa kami pun tiba di Agats, sebuah kota yang dibangun di atas rawa, penuh lumpur, tetapi terasa jauh lebih hidup dibandingkan Ewer. Kami turun di dermaga yang berdekatan dengan pasar. Suasana pagi itu cukup ramai dengan para pedagang yang menjajakan hasil tangkapan dan pertanian. Beragam jenis ikan, kepiting, burung kasuari, hingga sayuran dapat dengan mudah ditemukan di pasar. Dari sini kami berjalan kaki menuju penginapan untuk beristirahat.
Keesokan harinya kami meninggalkan Agats menuju Akat. Perjalanan sungai ini memakan waktu sekitar 2 jam dengan longboat. “Nanti di Akat, kita datang lapor minta ijin ke tokoh pemuka adat di Jew, kita harus bawa derma untuk mereka,” ucap pendamping kami, Pastor Vesto. Jew, kata itu muncul lagi.
“Siapa yang siapkan derma?” ujar Pastor berperawakan tambun asal NTT itu. Vembri, cah Yogya berdomisili Timika pun menjawab, “Sa su siapkan derma, ada rokok, garam, baterei, minyak goreng, lilin, dan coklat”. “Baik sudah”, jawab Pastor.
Kami pun tiba di Distrik Akat. Beriringan, kaki kami melangkah di atas jalan yang lebih tepat disebut dengan susunan papan kayu lapuk, dengan ketinggian satu meter di atas permukaan tanah. Belum sampai di Jew, kami dikejutkan dengan lolongan bak Tarzan. Lolongan ini keluar dari mulut seorang warga yang sedang berdiri di depan pintu.
Pastor mengingatkan, “jangan sampai melewati batas tengah dari ruangan, karena kita adalah tamu. Derma harus ditaruh di tengah-tengah.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR