Nationalgeographic.co.id— Baju dan celana kita bertumpuk-tumpuk di dalam almari? Mungkin kita perlu meluangkan waktu untuk berpikir sejenak, berapa banyak sejatinya pakaian yang kita butuhkan?
Apapun jawaban kita, beberapa kota besar di dunia telah dijangkiti fenomena konsumsi busana yang berlebihan.
Ellen McArthur Foundation, sebuah badan amal di Inggris yang menyerukan perilaku bijak dalam mengonsumsi busana, merilis hasil risetnya tentang sampah tekstil pada 2017. Temuannya, satu truk sampah tekstil tercipta setiap detik di Bumi. Masih pada tahun yang sama, Copenhagen Fashion Summit melaporkan bahwa sebesar 92 juta ton limbah busana mengalir ke tempat pembuangan sampah setiap tahunnya.
Beragamnya mode busana dan tren yang berubah dengan cepat tampaknya membuat kita selalu ingin tampil atau eksis dalam komunitas. Kendati, pada kenyataannya, apa yang kita miliki telah melebihi kebutuhan kita dalam berbusana. Kita berhenti sejenak untuk menengok bahwa busana yang kita kenakan sejatinya memiliki dua dunia.
Baca juga: Bersama-sama Melestarikan Lingkungan Mangrove di Bangkalan Madura
Pertama, dunia pengguna atau sisi permintaan. Setiap hari, kita mengenakan busana, yang memiliki komposisi dasar poliester, nilon, dan spandeks. Artinya, busana kita tak terbebas dari materi plastik. Cerita sehelai baju pun bermula. Ketika baju bermateri plastik dicuci, partikel mikro plastik yang terlepas pun mencemari lingkungan—air tanah, sungai, hingga lautan dan ekosistemnya. Satwa laut yang menjadi pasokan pangan pun mikroplastik.
Kedua, dunia pemasok atau sisi penawaran. Banyak industri busana yang menggunakan material kimia yang tak ramah lingkungan, dan atau mempekerjakan buruh dengan upah minim dalam proses produksinya.
Cara berpikir sirkuler ini bisa menginspirasi masyarakat untuk memikirkan kembali, mendesain kembali, dan membangun masa depan melalui kerangka ekonomi sirkuler.
Bagaimana upaya masyarakat Indonesia untuk mengurangi limbah busana? Sebuah komunitas yang memiliki misi kepedulian lingkungan dan pengurangan sampah menggelar kegiatan bersama bertajuk #TukarBaju pada Sabtu, 4 Mei silam di Kebayoran, Jakarta Selatan.
Amanda Zahra Marsono, Public Relation untuk Zero Waste Indonesia yang sekaligus selaku Project Manager dalam kampanye #TukarBaju, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan kampanye yang digagas oleh komunitasnya. Pada 2018, mereka berfokus pada pengurangan sampah plastik. Sampai kini, beragam kampanye yang digelar berbagai komunitas telah melahirkan banyak petisi dan regulasi pemerintah terkait penggunaan plastik sekali pakai.
Menurutnya, jangan sampai dengan hangatnya isu plastik ini membuat masyarakat lupa bahwa masih banyak sampah-sampah jenis lain yang dihasilkan setiap individu. “Salah satunya, yang paling berpolusi dan berkontribusi besar—baik di lautan maupun di tempat pembuangan akhir—adalah sampah dari industri fesyen. Atau, limbah tekstil.” Amanda menambahkan, “Kampanye #TukarBaju ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa apa yang kita pakai sehari-hari ini bisa menjadi sampah,” kata Amanda. “Dan, sepanjang 2019, kami akan memfokuskan kampanye terhadap limbah tekstil.”
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR