Apa daya, sang pewarta foto itu pun dipaksa menyerahkan satu rol film yang masih ada di dalam kameranya. Saksi atas kejadian itu adalah Bung Tomo yang merupakan seorang pewarta tulis asal Surabaya. Si Bung turut bertanggung jawab atas keselamata Abdul lantaran dialah yang mengajak Abdul untuk meliput ke hotel itu. Mungkin sikap tanggung jawab muncul lantaran Bung Tomo pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Domei, sebuah kantor berita pada masa Jepang.
Di serambi Hotel Yamato, Bung Tomo berkata dalam bahasa Belanda kepada serdadu NICA. Dia turut menjamin bahwa Abdul bukanlah mata-mata yang ditugaskan untuk menyelidiki kedatangan mereka. Dia juga menegaskan bahwa lelaki malang yang kena tinju tadi adalah seorang pewarta foto. Akhirnya, perseteruan berhenti dan kedua pemuda itu pun meninggalkan Hotel Yamato.
Kesaksian peristiwa kekerasan terhadap pewarta tersebut telah ditulis oleh Bung Tomo dalam bukunya 10 November yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbitan Balapan Djakarta pada 1951.
“Saudara Wahab adalah salah seorang bangsa Indonesia yang pada saat revolusi bergelora menjadi orang pertama yang menerima pukulan dari pihak musuh negara Republik Indonesia,” tulis Bung Tomo. “Sejak saat itu, dalam jiwaku tertanam sebuah perasaan tanggung jawab yang lebih besar terhadap negaraku yang masih muda itu.”
Sekitar dua minggu setelah kedatangan serdadu NICA dan AFNEI, rakyat Surabaya bergolak memanas sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945. Kelak, pertempuran tersebut dikenang sebagai perlawanan terhebat sejak Republik ini berdiri.
Baca juga:
(Kisah ini terbit pertama kali pada 22 November 2013)
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR