Nationalgeographic.co.id— “Genneka Tunggal Ika,” ujar Herawati Sudoyo. “Meskipun kita berasal dari gen yang berbeda, asalnya sama.”
Herawati Sudoyo merupakan peneliti di Eijkman Institute for Molecular Biology, Jakarta. Pada 2008 ia mendapatkan Habibie Award, penghargaan bagi seseorang atas terobosan di bidang peningkatan ilmu pengetahuan.
Genetika merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berkembang belakangan, demikian ungkap Herawati, namun memiliki perkembangan yang pesat. Perkembangan migrasi manusia mengakibatkan genetika manusia Indonesia memiliki kadar campuran. Apabila bahasa merupakan marka populasi dan tenun ikat merupakan marka budaya, maka gen merupakan marka manusia. Lewat studi genetika, asal usul seseorang dapat diketahui.
Leluhur manusia berasal dari Afrika, sekitar 150.000 tahun silam. Studi genetika berdasar fosil telah membuktikan sejumlah jalan perlintasan dalam penyebaran manusia modern “Out of Africa”, sejak 75.000 tahun silam. Ternyata, berdasar studi itu, mereka berjalan menyusuri sepanjang pantai hingga memasuki Indonesia, dan berlanjut ke Oseania. Lewat penelitian genetika pula telah terbukti bahwa “Laki-laki dan perempuan sama-sama keluar dari Afrika,” demikian ujar Herawati.
Baca juga: Imunisasi Bayi di Tengah Hutan, Perjuangan Tenaga Kesehatan di Papua
“Dari rangka temuan arkeolog dan catatannya,” tuturnya, “dari situlah kami bekerja.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat bukti bahwa leluhur manusia dari Asia memulai migrasi mereka lewat Indonesia sekitar 4.000 tahun silam, dari barat ke timur. Populasi yang hidup di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi penutur Austronesia dan non- Austronesia, atau yang kerap dikenal sebagai Papua. Mereka, penutur Austronesia, melakukan kontak dan kawin campur dengan populasi leluhur Papua yang sudah mendiami lebih dahulu kawasan Nusantara.
“Kita adalah campuran berbagai macam moyang dan semuanya dapat dibuktikan,” ungkap Herawati. “Tidak ada satu institusi pun yang bekerja sendiri. Kami juga bekerja sama dengan Pusat Arkeologi indonesia untuk mengungkap siapa manusia Melanesia itu.
“Meskipun kecil porsinya,” demikian ungkap Herawati, “genetika Papua ada hampir di seluruh wilayah Indonesia bagian barat.” Artinya, pada masa silam terjadi percampuran dua penutur ini—bukan penggantian populasi. Terdapat batas geografis yang memisahkan flora, fauna, dan manusia di kawasan barat dan timur Indonesia.
Hera juga sependapat dengan hasil studi para ahli linguistik dan arkeologi bahwa populasi Papua di timur Indonesia sudah ada sebelum para penutur Austronesia bergerak ke timur. Informasi genetika menunjukkan dampak genetika yang kuat dan signifikan adanya pergerakan penutur Austronesia di Indonesia, hingga kawasan terujung Oceania—yang meliputi Melanesia, Polinesia, dan Micronesia.
“Kita adalah campuran berbagai macam moyang dan semuanya dapat dibuktikan,” ungkap Herawati. “Tidak ada satu institusi pun yang bekerja sendiri. Kami juga bekerja sama dengan Pusat Arkeologi Nasional untuk mengungkap siapa manusia Melanesia itu.”
Herawati memberikan pemaparannya dalam forum Festival Budaya Melanesia (Melanesia Cultural Festival) yang digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 26-30 Oktober 2015. Festival yang dihadiri perwakilan negara-negara di Pasifik Selatan ini menampilkan konferensi, pagelaran budaya dan kesenian, dan film. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar program ini dengan tema “Celebrating Cultural Diversity of Melanesian World”. Festival ini dihadiri oleh perwakilan tujuh negara di kawasan Melanesia.
Indonesia merupakan panggung dinamis perkembangan dan migrasi manusia, yang menghubungkan daratan Asia dan kepulauan Pasifik.
Baca juga: Kisah Amalia Usmaianti, Salah Satu Dokter Pengabdi di Pedalaman Papua
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR