Nationalgeographic.co.id - Praktik mengunjungi pemakaman sebenarnya tidak hanya dilakukan di Indonesia saja. Hampir seluruh kebudayaan di dunia memiliki ritual untuk menghormati leluhur yang telah meninggal, diiringi dengan pemanjatan doa serta praktik lainnya.
Lantas, sejak kapan tradisi ini terpelihara? Apa pula yang mendasari nenek moyang melakukan ritus tersebut? Serta, bagaimana ritus tersebut bisa mempengaruhi kehidupan manusia?
Memento mori
Di kebudayaan klasik Yunani dan Romawi kuno, ziarah kubur dikenal istilah memento mori, yang secara harfiah berarti ‘ingatlah akan kematian’.
Hal ini serupa dengan berbagai praktik untuk mengunjungi pemakaman dan penghormatan terhadap leluhur di kebudayaan lainnya, yakni untuk mengingat bahwa kehidupan suatu saat akan berakhir.
Baca Juga: Tips-tips yang Bisa Dilakukan Agar Anak Tak Takut Bertemu Orang Lain Saat Lebaran
Kematian merupakan subjek yang umum dibicarakan, karena dapat kita jumpai hampir setiap harinya. Namun, menyadari kematian diri sendiri yang tidak terelakan dan dapat menjemput kapan saja, merupakan hal yang jarang singgah di pikiran kita.
Berkontempelasi mengenai kematian merupakan salah satu hal yang dapat mendorong kita menjalani hidup dengan sepenuh hati. Manusia menjadi termotivasi untuk menjaga hubungan baik dengan orang di sekitar kita, mengerjakan aktivitas semaksimal mungkin, dan mensyukuri waktu yang kita habiskan bersama orang yang berharga bagi kita.
Dalam menyikapi kematian, mungkin kita merupakan spesies yang unik. Kebanyakan hewan tidak memahami konsep kematian. Bagi mereka, jasad hanyalah suatu objek, bukan jenazah sisa kerabat atau sesamanya.
Meski demikian, beberapa spesies hewan nampaknya mengenal konsep kematian. Bahkan, beberapa hewan menunjukkan kesedihan dan ratapan sepeninggal kematian sesamanya, khususnya pada mamalia.
Pada hewan ini pulalah terdapat semacam ritual untuk berkabung dan berduka pasca-kematian, misalnya pada gajah, anjing, dan beberapa primata. Hal ini menunjukkan adanya dasar biologis untuk praktik berkabung.
Ritual untuk memakamkan jenazah bahkan juga dijumpai pada Neanderthal, melalui bukti arkeologis di beberapa situs peninggalannya.
Konsep mengenai kematian sebagai gerbang menuju alam lain adalah salah satu kepercayaan tertua yang dijumpai di awal peradaban. Hal ini juga ditenggarai merupakan alasan mengapa praktik penguburan jenazah serta ritual pasca-penguburan dan mengunjungi makam merupakan hal pertama yang muncul pada manusia sebagai suatu spesies, bahkan jauh sebelum adanya peradaban.
Hal ini berimplikasi bahwa praktik ini memiliki manfaat evolusioner, karena masih dapat bertahan hingga era modern.
Memahami silsilah keluarga
Di sisi lain, perilaku mengunjungi makam bukan hanya mendorong kita untuk menginternalisasi nilai kematian pada diri kita sendiri, tapi juga membantu kita mengenali asal usul kita dan menyadari bahwa kita tidak sendirian.
Mengunjungi makam leluhur, bersama keluarga besar, dapat membangun relasi sosial dan mempererat ikatan familial dengan anggota keluarga besar yang disatukan oleh garis keturunan yang sama.
Jika seseorang merasa dekat dengan anggota keluarganya, mereka cenderung akan membantu dan meningkatkan kemungkinan kelestarian gen mereka sendiri, karena besar kemungkinan anggota keluarga saling berbagi gen yang sama. Fenomena ini disebut kin selection, dan berlaku bagi seluruh makhluk hidup, tidak terkecuali manusia.
Para antropolog menduga bahwa konsep mengenai silsilah keluarga dikembangkan manusia prasejarah lewat pengamatan mereka terhadap hewan buruannya.
Pada dinding gua, mereka dapat mengenali bahwa individu kuda mirip dengan kuda yang lain, dan mendeduksi bahwa mereka merupakan jenis yang sama.
Pola demikian mendorong pengenalan bahwa manusia juga memiliki hubungan kekerabatan yang luas, sehingga muncul identitas baru, seperti suku dan klan.
Saat ini, keingintahuan akan silsilah keluarga dan identitas nenek moyang tengah mengalami tren yang meningkat. Situs seperti Ancestry.com, yang dapat menelusuri riwayat garis keturunan dari mana anda berasal melalui sampel DNA, merupakan salah satu metode yang populer digunakan.
Dengan metode ini, kita dapat mengetahui bahwa kita adalah keturunan jauh dari seorang yang berpengaruh di masa lampau. Tak hanya itu, kita juga dapat menyadari bahwa ternyata memiliki banyak sekali kerabat jauh yang tidak diduga sebelumnya.
Dengan adanya cara untuk melacak silsilah secara praktis dan luas seperti ini, apakah masih terdapat tempat untuk ritual tradisional seperti mengunjungi pemakaman? Tentu saja!
Baca Juga: Kesepian Berbahaya Bagi Kesehatan, Ini Cara Sederhana Mengatasinya
Kita hidup di tengah jutaan orang di suatu kota besar tempat kita beraktivitas sehari-hari. Bertemu sepupu atau kerabat jauh yang sebelumnya belum pernah kita jumpai dapat membangun hubungan keterikatan yang belum pernah kita rasakan. Begitu pula saat kita berada di pemakaman itu sendiri.
Bagi beberapa orang, terdapat nuansa spesial di mana ia menyadari bahwa di hadapannya terdapat leluhurnya, yang juga pernah menjalani kehidupan layaknya dirinya sendiri.
Seseorang juga mungkin mulai menyadari bahwa ia adalah representasi dari garis keturunan yang sangat panjang, yang mungkin akan diteruskannya pada generasi mendatang.
Hal ini menimbulkan sensasi melankolis tersendiri, dan dapat menimbulkan katarsis yang kuat pada sebagian orang.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR