Nationalgeographic.co.id—Sejak indekos di kediaman H.O.S Tjokroaminoto di Peneleh, Surabaya, Soekarno muda memang sudah menggemari tontonan film layar lebar. Kendati bukan orang kaya, dia menyempatkan menonton film seminggu sekali. Tampaknya menonton menjadi hiburan andalan ketika dia menjadi pelajar Hogere Burgerschool—setingkat SMA kini—sekitar 1918-1920.
Namun, bioskop pada awal abad ke-20 sungguh berbeda dengan awal abad ke-21. Pada masa itu layar putih memisahkan ruangan bioskop menjadi dua bagian. Satu ruangan kelas utama yang umumnya bagi warga Belanda.
Sementara, ruangan di baliknya adalah kelas kambing, yang dikhususkan untuk Bumiputra. Karcis paling murah dijual untuk penonton belakang layar, salah satu pelanggan setianya adalah Soekarno.
Bagi Soekarno, menonton film dari balik layar justru membuat kemahiran baru: membaca teks berbahasa Belanda dengan terbalik. Namun, ada juga hal yang paling mengecewakannya: saat menonton film tinju. Dari balik layar, Soekarno muda kikuk menerka posisi tangan petinju yang posisinya berkebalikan.
Baca juga: Siapakah Sang Penulis Pidato Bahasa Inggris Pertama Bung Karno?
Seperti anak muda zaman sekarang, Soekarno pun memiliki sederet bintang pujaan. Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne, hingga Francis X. Bushman. Gambar dari berbagai sosok bintang film papan atas Amerika Serikat itu dikumpulkan Soekarno dari kartu bonus sigaret Westminster. Demikianlah, Si Bung Besar yang membenci keju ini tampaknya terpukau menonton film barat.
Kegemaran menonton film ini tetap berlanjut tatkala dia menjabat sebagai presiden. Setiap minggu sekali, Soekarno dan keluarganya menggelar film layar lebar di Istana Merdeka. Film Indonesia pertama yang digelar adalah Darah dan Doa, karya Usmar Ismail pada 1950. Sementara, Sitor Situmorang sebagai penggagas ide ceritanya. Soekarno juga turut mendorong pembuatan film Tauhid yang rilis pada 1964. Film yang disutradarai Asrul Sani itu berkisah tentang rukun kelima dalam agama Islam.
Anekdot tentang Soekarno itu dikisahkan Fatmawati kepada S. Saiful Rahim, seorang jurnalis. Kisah wawancaranya dirilis dalam Bung Karno Masa Muda. Buku itu diterbitkan oleh Pustaka Yayasan Antar Kota Jakarta pada 1978. Judul buku karya Saiful lainnya, Perjalanan Kusni Kasdut pada 1980, dan disusul Tenggelamnya Tampomas II yang dirilis oleh penerbit yang sama pada 1981. Sampai hari ini, karya-karya cerpennya masih menghias surat kabar nasional. Saiful juga menulis serangkaian karya puisi, drama, esai dan kritik sastra, film, dan musik. Dia telah menulis sejumlah 18 buku, dan sebuah skenarionya telah diangkat di layar film.
Baca juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika
Di dalam kisahnya kepada wartawan itu, Fatmawati juga mengungkapkan lagu yang gemar didendangkan Soekarno muda ketika di Surabaya, yakni Yankee Doodle. Lagu yang kerap diputar saat rehat pemutaran film itu tampaknya bersemayam di benak terdalam Soekarno.
Lagu itu digubah oleh seorang dokter bedah angakatan darat Inggris, Richard Shuckburgh, pada 1755. Lagu itu pun pernah menjadi kelakar serdadu Inggris kepada mitra serdadu Amerika mereka. Sebutan Yankee Doodle mengacu orang yang semerawut dalam bertugas, kampungan, dan dungu. Sebaliknya, serdadu Amerika membuat versi barunya yang mengejek serdadu Inggris dan memuji George Washington. Demikianlah, lagu itu populer dalam Perang Saudara di Amerika.
Barangkali sebagian besar dari kita masih mengingat lirik nadanya, atau bahkan kerap mendendangkannya.
“Yankee Doodle went to town a-riding on a pony. Stuck a feather in his cap and called it macaroni... Yankee Doodle keep it up,Yankee Doodle dandy, Mind the music and the step, And with the girls be handy."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR