Nationalgeographic.co.id - Bayangkan Anda sedang berjalan di hutan tropis yang rimbun, tiba-tiba mendengar suara gaduh di antara dedaunan. Buah yang sudah setengah digigit menggelinding di jalur yang Anda lewati. Hanya beberapa saat, Anda beradu mata dengan Monyet Howler (genus Alouatta), salah satu jenis monyet yang terkenal karena teriakannya. Ia mengeluarkan suara geraman sebelum akhirnya melompat ke cabang pohon lebih tinggi.
Pertemuan singkat dengan satwa di alam liar seperti ini bisa saja menjadi pengalaman yang menakjubkan dari liburan Anda.
Model berwisata di alam semacam ini memang sedang berkembang dan bisa menjadi menjadi sumber dana konservasi yang memang sangat dibutuhkan, sekaligus sarana meningkatkan kesadaran masyarakat akan satwa liar.
Namun, ada dampak lain dari perkembangan turisme model ini. Banyak wisatawan, secara tidak sadar, justru membahayakan satwa liar tersebut karena bisa mendorong perburuan ilegal satwa liar atau bahkan melukai mereka.
Tapi, tidak berarti Anda harus menghindari pariwisata ke alam liar sama sekali - kita hanya perlu lebih sadar akan dampak yang ditimbulkan terhadap kehidupan satwa liar. Berikut ini lima cara untuk berlibur di alam liar sambil berkontribusi terhadap dunia konservasi dan menjamin kesejahteraan satwa.
Untuk memenuhi kebutuhan foto para wisatawan, satwa-satwa biasanya diperlakukan buruk oleh manusia. Mereka telah tercerabut dari lingkungan ekologis dan sosial mereka.
Sebagai contoh, kukang jari tiga atau brown sloth merupakan hewan yang menjadi objek foto yang umum di Amerika Tengah dan Selatan. Akibat stres terlalu banyak manusia yang harus mereka hadapi untuk setiap sesi foto, tidak jarang badan atau kepala satwa ini dimanipulasi sedemikian rupa hanya untuk mendapatkan foto terbaik bagi manusia.
Sementara, untuk kawasan Asia Tenggara, kukang atau malu-malu (slow loris) menjadi satwa paling diminati untuk diajak foto. Manusia memaksa hewan nokturnal ini untuk berfoto di bawah cerahnya sinar matahari yang menyakitkan bagi mata mereka. Gigi mereka pun harus dicabut demi keamanan dan kenyamanan para wisatawan.
Di Afrika Selatan, manusia mengambil anak singa dari induknya dan menjinakkan mereka agar manusia bisa memeluk dan berfoto dengan mereka layaknya boneka. Namun, saat mereka sudah terlalu besar dan berbahaya untuk berfoto dengan manusia, kebanyakan singa ini menjadi sasaran perburuan di ruangan yang tertutup, seperti kandang besar. Industri ini populer dengan nama canned hunting di mana orang membayar untuk bisa membunuh mereka.
Anda tetap bisa mengambil foto-foto menakjubkan dari satwa-satwa ini tanpa melukai dan menyakiti mereka. Patuhi aturan yang ditetapkan oleh Perlindungan Hewan Sedunia terkait tentang aturan swafoto di alam liar atau wildlife selfie code, yaitu hanya mengambil foto bersama satwa di lingkungan mereka yang asli, dengan jarak yang aman, dan bebas untuk bergerak.
Memberi makan satwa liar dapat berujung kepada sejumlah masalah serius. Berbagi makanan, dan bahkan berdiri terlalu dekat, mampu meningkatkan risiko penularan penyakit antara manusia dan hewan. Gorila, simpanse, dan orangutan, misalnya, rentan terhadap sejumlah infeksi manusia, termasuk pilek dan flu, campak, tuberkulosis, dan pneumonia.
Lebih lanjut, kondisi bulu yang buruk dan obesitas pada binatang ternyata terkait dengan proporsi makanan manusia yang tinggi yang diberikan kepada mereka ketika wisatawan berkunjung.
Dan, ketika hewan belajar untuk mendapatkan makanan dari manusia, hal ini bisa meningkatkan risiko konflik manusia dan satwa, seperti kera ekor panjang di Bali yang bahkan mencuri dari wisatawan untuk “barter” makanan.
Kurangnya pemahaman tentang perilaku normal hewan memungkinkan wisatawan berkontribusi menciptakan konflik antara manusia dan satwa. Dengan raut muka dan perilaku yang mirip dengan manusia, wisatawan justru bisa salah mengartikan ekspresi dan bahasa tubuh dari primata.
Salah satu studi menemukan turis kesulitan untuk mengenali ekspresi wajah agresif atau sedang tertekan dari beruk Barbar atau Barbary macaques. Ketika seekor hewan memberikan peringatan yang jelas dan manusia tidak merespons dengan tepat, maka tidak heran akan dibalas dengan gigitan dan cakaran. Jadi, salah menafsirkan ekspresi satwa akan membuat Anda menjadi sasaran gigitan dan cakaran.
Memahami sedikit tentang perilaku hewan juga dapat membantu Anda mengenali kemungkinan terjadinya penyiksaan. Beberapa gajah di Asia Tenggara menjalani proses pelatihan yang kejam, yang membuat mereka tidak bisa bergerak, kelaparan dan kekurangan air, agar mereka terlihat patuh dan jinak bagi wisatawan. Gajah-gajah pekerja ini dilarang menunjukkan perilaku alami mereka, seperti bersosialisasi dengan kawanan dan menjelajah kawasan berkilo-kilo meter jauhnya setiap hari.
Meskipun mungkin tidak paham tanda-tanda spesies dalam keadaan tertekan, kita akan dapat mengenali satwa liar yang tidak bisa bebas berperilaku normal akibat tidak diperlakukan dengan baik.
Kita hanya bisa melindungi satwa liar jika kita melindungi komunitas mereka, termasuk manusia. Wisata satwa liar yang bertanggung jawab harus dapat menyediakan dana bagi manusia dan hewan yang hidup di lingkungan tersebut. Jadi, jangan memberikan semua uang Anda kepada perusahaan internasional.
Pilihlah menginap di hotel milik masyarakat lokal, mengkonsumsi pangan lokal, dan berinteraksi dengan budaya di tempat yang Anda kunjungi. Dampak ekonomi dari pariwisata bisa sangat besar. Uang yang Anda keluarkan untuk mendukung daerah setempat akan mendukung upaya masyarakat setempat melindungi alam mereka.
Kisah-kisah sukses wisata satwa liar, yaitu desa-desa yang melindungi alam liar dan mendapatkan pendapatan dari turisme, terjadi di Tanzania hingga ke Kosta Rika.
Wisata alam liar di daerah-daerah tersebut dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan, meningkatkan pendapatan bagi masyarakat setempat, serta menjadi contoh bahwa pembangunan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan konservasi satwa liar.
Pendapatan Anda sebagai turis mempunyai kekuatan, jadi pilihlah dengan bijaksana di mana Anda akan menghabiskan uang tersebut. Apabila terasa tidak menyenangkan, jangan berpartisipasi. Jika tidak yakin, pertimbangkan beberapa hal, seperti apakah hewan-hewan tersebut dalam kandang atau saat tampil mereka menunjukkan perilaku di luar dari kebiasaan.
Anda perlu juga mengetahui bahwa kata-kata “cagar alam” atau “kawasan lindung” sangat mungkin masih menjalankan praktik-praktik yang tidak etis. Jadi, lakukanlah riset sebelum Anda memutuskan untuk pergi. Anda bisa mengecek dengan organisasi-organisasi perlindungan satwa liar, seperti RPSCA, sebuah lembaga untuk pencegahan kekejaman terhadap hewan, atau Humane Society, salah satu organisasi perlindungan hewan yang terkenal.
Tuliskan pengalaman Anda secara online untuk menginformasikan kepada publik tentang perusahaan-perusahaan mana yang melakukan praktik yang mencurigakan. Saat kita berhenti membeli jasa dari mereka yang menyiksa satwa-satwa, maka orang-orang akan berhenti menjual dengan cara seperti itu.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR