Kami berjalan kaki di tengah salib-salib korban perang, yang berjumlah lebih dari 4.300. Menurut Robbert, 80 persennya adalah warga sipil. Mereka yang dimakamkan di sini tidak hanya orang-orang Belanda, tetapi juga orang-orang Indonesia yang berdinas di Koninklijke Nederlands-Indische Leger, atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Baca juga: Kisah Petaka Rombongan Pemusik Belanda dalam Monumen Padalarang
Saya berkata kepada Robbert bahwa kakek buyut saya pernah bertugas sebagai tentara KNIL di tangsi militer Purworejo pada 1930-an. Namun, nasib kakek buyut saya tidak pernah diketahui lagi setelah sebuah peristiwa penculikan pada akhir 1940-an.
“Coba cari di sini,” ujar Robbert seraya mengeluarkan gawai cerdas dari saku jasnya. “Silakan ketik namanya. Mungkin ia dimakamkan di sini.”
Saya berbesar hati mengetik nama kakek buyut di mesin peramban Oorlogsgravenstichting: “Sikin Soemojitno”. Sayangnya, mesin peramban itu tidak menemukan nama yang dimaksud.
Pukul lima tepat acara peringatan ini dimulai di dalam Simultaankerk. Para peziarah duduk di bangku-bangku yang berderet. Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Rob Swartbol, berada di tengah mereka.
Di sisi samping podium tampak salib yang terbuat dari kayu-kayu bantalan rel kereta api di Birma, yang mempekerjakan para romusha dari tawanan perang asal Belanda, Australia, Inggris, dan Amerika. Setidaknya ada dua film yang mengusung latar sejarah ini, yakni The Railway Man (2013) dan film dokumenter Siam-Burma Death Railway (2014).
“Setiap 15 Agustus,” demikian Robbert membuka pidatonya, “Belanda memperingati semua orang yang gugur sebagai korban Perang Dunia Kedua di Asia Tenggara.”
Dia menceritakan kembali tentang merembetnya Perang Asia Timur Raya ke kawasan yang dahulunya bernama Hindia Belanda. Akhirnya, pada 1942 tentara Jepang menyerbu kawasan ini. Ribuan pria, wanita, dan anak-anak Belanda terbunuh atau menghuni di kamp-kamp tawanan perang Jepang. “Lebih dari 13.000 orang tidak selamat dari kamp-kamp itu,” ungkapnya.
Menurutnya, periode Perang Dunia Kedua merupakan tahun-tahun penuh rasa takut, ancaman dan ketidakpastian. Mereka yang dulunya berdinas di militer Belanda dijadikan tawanan perang, kemudian dibawa ke lokasi pertambangan di Jepang atau dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa pada pembangunan jalur rel kereta api di Sumatra, Burma dan Siam.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR