Nationalgeographic.co.id— Robbert van de Rijdt tampak rapi dengan jas gelap dan dasi jingganya. Dia menyambut saya di teras Simultaankerk. Kami pun berbincang sejenak di dalam gereja, yang menjadi tengara Ereveld Menteng Pulo.
Lelaki itu adalah Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesie, sebuah institusi nirlaba di Belanda yang mengelola permakaman korban-korban perang, selama enam tahun terakhir. Sebelumnya dia bertugas di Koninklijke Marine, angkatan laut Kerajaan Belanda.
Sore itu Oorlogsgravensticting Indonesia dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menggelar peringatan bertajuk Herdenking Einde Wereldoorlog II Zuidoost-Azië, peringatan berakhirnya Perang Dunia Kedua di Asia Tenggara.
Di Indonesia terdapat tujuh taman kehormatan—sebutan untuk taman permakaman korban perang—yakni Ereveld Menteng Pulo dan Ereveld Ancol di Jakarta, Ereveld Pandu di Kota Bandung, Ereveld Leuwigajah di Cimahi, Ereveld Candi dan Ereveld Kalibanteng di Semarang, dan Ereveld Kembang Kuning di Surabaya. Setiap taman kehormatan itu memiliki tema sejarah berikut monumen yang dibangun. Namun, Ereveld Menteng Pulo-lah yang tampaknya lebih sohor—mungkin karena berlokasi di tengah Metropolitan Jakarta.
Baca juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
“Inilah Columbarium,” kata Robbert sembari mengajak saya menyusuri sebuah lorong terbuka di samping Simultaankerk. “Ada 754 pasu yang berisi abu jenazah orang-orang Belanda. Mereka tawanan perang Jepang yang wafat di Jepang,” imbuhnya. “Di setiap pasu ini ada nama, tanggal kelahiran dan kematiannya, yang disusun secara alfabet.”
Beberapa pasu tersemat bunga, sebagai tanda ada kerabat yang menziarahinya beberapa waktu lalu. Kami melewati lorong Columbarium yang berhias deretan pasu, lalu berhenti di sudut pertemuan dengan lorong terbuka lainnya. “Di sudut ini terdapat monumen kecil untuk penghormatan kepada tentara yang tak dikenal,” ujar Robbert.
Kami menyaksikan kaca patri yang menggambarkan sosok lelaki bertelanjang dada karya C. Stauthamer, yang dibuat pada 1949. Sosok lelaki Indonesia dengan ikat kepalanya yang khas dan sosok lelaki Belanda.
“Anda bisa lihat dua lelaki yang tersenyum di kaca patri jendela. Keduanya berdiri bersama sebagai kawan ini mengisahkan tentang persahabatan antara Belanda dan Indonesia,” ujar Robbert. Lalu dia menambahkan sembari tersenyum, “Jadi sejak 1949 sejatinya kita sudah menjadi sahabat baik.”
“Anda bisa lihat ke arah menara di sana,” ujar Robbert sembari menunjuk menara Simultaankerk. “Anda lihat beragam simbol-simbol agama ada di sana.” Tampaknya kebinekaan itulah yang menjadikan gereja itu bernama “simultaan” yang bermakna “bersama-sama”. Penyebutan itu juga mengacu pada mereka yang dimakamkan di sini terdiri atas beragam agama—Muslim, Kristen, Katholik, Yahudi, Buddha hingga Konghucu.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR