Nationalgeographic.co.id - “Saya lahir dan dibesarkan di Bandung,” ungkap Frans van Bommel kepada saya sekitar empat tahun silam. Kemudian dia melanjutkan, “Saya masih ingat, semua ketakutan, kecemasan, dan peristiwa pada hari-hari itu—kala Hindia Belanda takluk kepada Jepang.”
Pertalian Frans dengan Bandung tampaknya cukup kuat lantaran ibunya dimakamkan di Pandu, beberapa tahun sebelum kedatangan Jepang. Lelaki itu merupakan salah satu penyintas masa pendudukan Jepang. Bagi Frans, dunia telah melupakan sejarah perang, rasa sakit, penderitaan warga sipil yang tidak bersalah di bawah kekuasaan Jepang yang barbar.
Baca Juga : Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'
Kendati Frans berusia 83 tahun dan telah menjadi warga Colorado, Amerika Serikat, dia masih menyimpan bara dalam benaknya. “Mereka akan selalu menjadi musuh saya, tak peduli kapan pun dan di mana pun,” ungkapnya.
Berita resmi penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang di Lapangan Udara Kalijati tersiar dari corong NIROM pada Senin, 9 Maret 1942. Sehari sebelumnya, di tepian jalan utama Kota Bandung tampak banyak kemeja resmi para perwira yang dibuang bengitru saja, lengkap dengan emblem dan tanda jasa mereka.
Perang Pasifik menorehkan salah satu bab sejarah terkelam dalam peradaban manusia. Barangkali apa yang dikatakan Frans benar, kita memang telah melupakannya. Barangkali pula kita mudah melupakannya karena kita adalah penonton perang yang baik—Nusantara adalah 'terra bellica' namun kita tidak terlibat langsung dalam Perang Dunia. Sejatinya, seperti apakah suasana Hindia Belanda saat itu?
“Akhir dari Hindia Belanda di Bandung terlihat gedung-gedung pertemuan dan restoran-restoran, yang dipenuhi orang-orang Belanda,” ungkap B.J. Bijkerk. “ [...] Para perwira tinggi yang berdansa tampak tidak terganggu di Societeit Concordia di Jalan Braga dan di Hotel Homann Bandung. Hampir semua yang hadir berbusana malam...”
Sementara sepuluh kilometer dari Bandung terjadi kecamuk pertempuran malam antara KNIL dan serdadu Jepang, warga kota justru bersantai melepas ketegangan di hiburan malam. Sebuah akhir pekan tanpa harapan.
Bijkerk, perempuan Belanda yang saat itu berusia 45 tahun, merupakan asisten perawat di Gemeente Ziekenhuis Juliana—kini Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Dia menuliskan pengalamannya jelang tutupnya Hindia Belanda dalam Vaarwel, Tot Betere Tijden, terbit pertama kali dalam bahasa Belanda pada 1974.
“Mempertahankan suatu daerah kepulauan seluas Eropa dengan 350.000 orang serdadu bayaran,” ungkap Bijkerk, “berarti suatu pekerjaan yang mustahil.”
Suasana Hindia Belanda ibarat “orang yang menunggu hasil ujian tetapi mereka sebenarnya sudah tahu dengan pasti bahwa mereka tidak lulus.” Bijkerk berpendapat tentang kekuatan KNIL yang sejatinya untuk menjaga keamanan dan kedamaian Hindia Belanda, bukan untuk berperang dengan musuh dari luar. “Mempertahankan suatu daerah kepulauan seluas Eropa dengan 35.000 orang serdadu bayaran,” ungkapnya, “berarti suatu pekerjaan yang mustahil.”
“Semua botol-botol minuman kami buang isinya,” ungkap Bijkerk. NIROM, stasiun radio Hindia Belanda, telah menyiarkan peringatan kepada warganya untuk membuang isi botol minuman beralkohol. Warga Belanda tahu bahwa dalam pengaruh alkohol serdadu Jepang akan berlaku brutal. Namun, belakangan mereka baru paham bahwa tanpa pengaruh alkohol pun serdadu Jepang memang sudah brutal.
Ketika deru pesawat-pesawat Jepang mulai melintasi Bandung, dalam kepanikan Bijkerk dan suaminya segera bersiap meninggalkan kota. Mereka, dan juga banyak warga Belanda lainnya, mengungsi dengan mobil ke Wijnkoopsbaai—kini Pelabuhan Ratu. Dalam buku riwayatnya, inilah salah satu kawasan pantai yang belum diketahui pesawat-pesawat pemburu milik Jepang. Untuk sementara mereka aman di kapal “Pulau Bras” yang siap berlayar.
William Henry McDougall Jr. (1909-1988) turut memberikan kesaksian semasa. Lelaki asal Utah, Amerika Serikat itu bertugas sebagai jurnalis United Press. Bersama jurnalis lain, dia mengikuti pergerakan KNIL di perbukitan di Subang pada Rabu, 4 Maret 1942. Para jurnalis, yang juga dibekali senapan otomatis, dijanjikan oleh seorang perwira militer Belanda untuk menyaksikan bagaimana armada KNIL menghalau Jepang untuk kembali ke laut.
Namun, pada kenyataannya McDougall menemukan hal yang sebaliknya. Dia dan KNIL justru kocar-kacir meninggalkan Subang menuju Bandung dengan jalanan yang diserang bom oleh pesawat-pesawat Jepang.
Di sebuah puncak bukit, kendaraan mereka dihentikan oleh segerombolan KNIL pribumi yang panik. Para serdadu itu menyuruh mereka untuk putar balik karena ada pasukan payung Jepang. McDougall dan jurnalis lain dengan sigap membawa senapan otomatis mereka dan bersembunyi dalam semak.
“Kami mencari-cari hingga horizon, namun tidak menemukan apapun kecuali bercak asap hitam sisa ledakan peluru penangkis serangan udara,” ungkap McDougall. “Lalu kami menyadari apa yang membuat pasukan itu panik. Peluru-peluru penangkis serangan udara itu meletus dan turun ke bawah seperti parasut-parasut hitam.”
Jika letusan penangkis serangan udara itu dapat melumpuhkan militer Belanda, demikian dalam benak jurnalis itu, bukan hal yang mengherankan jika serdadu Jepang dapat bergerak dengan mudah dan cepat.
McDougall menulis petualangannya tadi dalam Six Bells off Java: A Narrative of One Man's Miracle yang diterbitkan Charles Scribner's Sons, New York pada 1948. Buku lain karyanya berjudul By Eastern Windows terbit pada tahun berikutnya. Atas petualangan dan laporan pascaperangnya, McDougall menerima Nieman Fellowship di Harvard University dan juga nominasi Pulitzer Prize.
“Kami mencari-cari hingga horizon, namun tidak menemukan apapun kecuali bercak asap hitam sisa ledakan peluru penangkis serangan udara,” ungkap McDougall.
Bijkerk dan McDougall adalah sebagian dari penyintas kapal “Pulau Bras”. Kapal itu berangkat dari Pelabuhan Ratu, namun ditenggelamkan Jepang pada 7 Maret 1942 di barat laut Pulau Christmas, Samudra Hindia. Perkiraan korban tenggelamnya Poelau Bras mencapai 240 orang, sebanyak 116 orang berhasil selamat dari maut karena sekoci. Selama tiga tahun lebih mereka mendekam terpisah di balik kawat berduri kamp tawanan perang di Sumatra.
Kesaksian Nio Joe Lan
“Sasoedanja Djepang berkoeasa di sini 6 minggoe lamanja, moelai dilakoeken penangkapan pada pemimpin-pemimpin dan journalist-journalist Tionghoa,” ungkap Nio Joe Lan. “Itoe koetika kira-kira djam 9 pagi pada itoe hari Minggu 26 April 1942 jang tida aken bisa terloepa.”
Nio (1904 -1973) merupakan seorang jurnalis yang aktif sebagai pengurus Tiong Hoa Hwe Koan. Karirnya bermula di majalah Penghiboer, berlanjut di surat kabar Keng Po dan harian Sin Po.
“Sasoedanja Djepang berkoeasa di sini 6 minggoe lamanja, moelai dilakoeken penangkapan pada pemimpin-pemimpin dan journalist-journalist Tionghoa,” ungkap Nio Joe Lan.
Nio, yang saat itu berusia 38 tahun, diciduk di rumahnya di Jakarta. Bersama warga Tionghoa laki-laki dari beberapa kota di Jawa, mereka menjadi tawanan Jepang. Awalnya, Nio dan warga Tionghoa lainnya ditempatkan di Bukit Duri, lalu dipindah ke Serang. Kamp terakhirnya adalah Tjimahi, bersama 9.000 warga Belanda.
“Djangan kata mengatahoei keadahan loear, liat orang loear sadja tida boleh!” Kehidupan dalam kamp memang membosankan, namun tampaknya penuh romansa. Selain kewajiban menanam sayur di kebun, beberapa orang berinisiatif membuat perpustakan, ceramah intelektual, hingga bermain alat musik bersama.
Nio dan warga Tionghoa lain dibebaskan pada 27 Agustus 1945. Nio bertimbang hati kepada keluarga Belanda yang meskipun bebas, mereka tak lagi memiliki rumah. “”Orang interneeran Tionghoa boleh dibilang ampir semoea masi ada poenja roemah, kemana marika bisa poelang.”
Catatan hariannya selama di kamp, diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Lotus Company pada1946.
Bagaimana bisa warga Tionghoa yang lama menetap di Hindia Belanda turut menjadi tawanan perang? Jepang melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Di dalam tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga pecinan, dan jurnalis—yang tampaknya tak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang.
Militer Jepang memasuki Batavia tatkala Satyawati Suleiman (1920-1988) masih menjadi mahasiswi. Satyawati dikenal sebagai perempuan pertama yang menyandang gelar ahli arkeologi di Indonesia. Kisah pengalamannya ketika awal masa pendudukan Jepang pernah terbit dalam jurnal Indonesia nomor 28 pada Oktober 1979, "The Last Days of Batavia".
Berbeda dengan nasib kebanyakan keluarga Belanda, kondisi Satyawati dan keluarganya tampaknya masih tenteram pada awal 1942. “Ibu saya menanam mentimun dan bunga matahari Meksiko,” ungkapnya, “dan, setelah Jepang tiba, kita bisa makan sayuran dan memotong bunga untuk mencerahkan rumah.”
Namun, beberapa bulan jelang militer Jepang masuk, perubahan yang tampak nyata adalah di kampusnya. Banyak profesor Belanda mengubah busananya dengan seragam Stadswacht dan Landwacht, yang merupakan bagian korps militer darurat di Hindia Belanda. “Jadi kami menghadiri kuliah yang diberikan oleh laki-laki berpenampilan pejuang perang,” ungkap Satyawati, “yang masuk ruangan dengan entakan sepatu bot dan dengan helm di tangan mereka.”
“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah.
Beberapa ruang dosen juga dimodifikasi supaya tahan dari bom serangan udara, juga dinding darurat yang melapisi dinding luar ruang tersebut. Kebiasaan baru para penghuni kampus adalah merayapi dinding perlindungan ketika terdengar alarm peringatan serangan udara.
Baca Juga : Riwayat Rempah sang Pembentuk Peradaban Dunia
“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah. Umumnya orang tua mereka menganggap kota besar seperti Batavia tidak lagi aman bagi anak-anak perempuan mereka. Kekhawatiran itu cukup beralasan lantaran berbagai berita mengerikan tentang brutalnya pembantaian di Nanking, Tiongkok, oleh Jepang.
Mahasiswa kian menghilang dalam kelas, namun Setyawati dan segelintir temannya masih setia menghadiri perkuliahan hingga Februari 1942. “Kami masih ceria dan tampak seolah-olah tidak ada ketakutan sama sekali,” ungkapnya. “Kami menyimak profesor yang menjelaskan tata bahasa Jawa yang sulit, seakan tidak terjadi Perang Pasifik.”
Setiap orang mewakili kisah takdirnya sendiri dalam masa-masa sulit. Tiga tahun kemudian, sebuah negeri kepulauan bernama Indonesia menjadi takdir baru bagi rakyatnya yang merindukan kebebasan.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR