“Djangan kata mengatahoei keadahan loear, liat orang loear sadja tida boleh!” Kehidupan dalam kamp memang membosankan, namun tampaknya penuh romansa. Selain kewajiban menanam sayur di kebun, beberapa orang berinisiatif membuat perpustakan, ceramah intelektual, hingga bermain alat musik bersama.
Nio dan warga Tionghoa lain dibebaskan pada 27 Agustus 1945. Nio bertimbang hati kepada keluarga Belanda yang meskipun bebas, mereka tak lagi memiliki rumah. “”Orang interneeran Tionghoa boleh dibilang ampir semoea masi ada poenja roemah, kemana marika bisa poelang.”
Catatan hariannya selama di kamp, diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Lotus Company pada1946.
Bagaimana bisa warga Tionghoa yang lama menetap di Hindia Belanda turut menjadi tawanan perang? Jepang melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Di dalam tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga pecinan, dan jurnalis—yang tampaknya tak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang.
Militer Jepang memasuki Batavia tatkala Satyawati Suleiman (1920-1988) masih menjadi mahasiswi. Satyawati dikenal sebagai perempuan pertama yang menyandang gelar ahli arkeologi di Indonesia. Kisah pengalamannya ketika awal masa pendudukan Jepang pernah terbit dalam jurnal Indonesia nomor 28 pada Oktober 1979, "The Last Days of Batavia".
Berbeda dengan nasib kebanyakan keluarga Belanda, kondisi Satyawati dan keluarganya tampaknya masih tenteram pada awal 1942. “Ibu saya menanam mentimun dan bunga matahari Meksiko,” ungkapnya, “dan, setelah Jepang tiba, kita bisa makan sayuran dan memotong bunga untuk mencerahkan rumah.”
Namun, beberapa bulan jelang militer Jepang masuk, perubahan yang tampak nyata adalah di kampusnya. Banyak profesor Belanda mengubah busananya dengan seragam Stadswacht dan Landwacht, yang merupakan bagian korps militer darurat di Hindia Belanda. “Jadi kami menghadiri kuliah yang diberikan oleh laki-laki berpenampilan pejuang perang,” ungkap Satyawati, “yang masuk ruangan dengan entakan sepatu bot dan dengan helm di tangan mereka.”
“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah.
Beberapa ruang dosen juga dimodifikasi supaya tahan dari bom serangan udara, juga dinding darurat yang melapisi dinding luar ruang tersebut. Kebiasaan baru para penghuni kampus adalah merayapi dinding perlindungan ketika terdengar alarm peringatan serangan udara.
Baca Juga : Riwayat Rempah sang Pembentuk Peradaban Dunia
“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah. Umumnya orang tua mereka menganggap kota besar seperti Batavia tidak lagi aman bagi anak-anak perempuan mereka. Kekhawatiran itu cukup beralasan lantaran berbagai berita mengerikan tentang brutalnya pembantaian di Nanking, Tiongkok, oleh Jepang.
Mahasiswa kian menghilang dalam kelas, namun Setyawati dan segelintir temannya masih setia menghadiri perkuliahan hingga Februari 1942. “Kami masih ceria dan tampak seolah-olah tidak ada ketakutan sama sekali,” ungkapnya. “Kami menyimak profesor yang menjelaskan tata bahasa Jawa yang sulit, seakan tidak terjadi Perang Pasifik.”
Setiap orang mewakili kisah takdirnya sendiri dalam masa-masa sulit. Tiga tahun kemudian, sebuah negeri kepulauan bernama Indonesia menjadi takdir baru bagi rakyatnya yang merindukan kebebasan.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR