Ketika deru pesawat-pesawat Jepang mulai melintasi Bandung, dalam kepanikan Bijkerk dan suaminya segera bersiap meninggalkan kota. Mereka, dan juga banyak warga Belanda lainnya, mengungsi dengan mobil ke Wijnkoopsbaai—kini Pelabuhan Ratu. Dalam buku riwayatnya, inilah salah satu kawasan pantai yang belum diketahui pesawat-pesawat pemburu milik Jepang. Untuk sementara mereka aman di kapal “Pulau Bras” yang siap berlayar.
William Henry McDougall Jr. (1909-1988) turut memberikan kesaksian semasa. Lelaki asal Utah, Amerika Serikat itu bertugas sebagai jurnalis United Press. Bersama jurnalis lain, dia mengikuti pergerakan KNIL di perbukitan di Subang pada Rabu, 4 Maret 1942. Para jurnalis, yang juga dibekali senapan otomatis, dijanjikan oleh seorang perwira militer Belanda untuk menyaksikan bagaimana armada KNIL menghalau Jepang untuk kembali ke laut.
Namun, pada kenyataannya McDougall menemukan hal yang sebaliknya. Dia dan KNIL justru kocar-kacir meninggalkan Subang menuju Bandung dengan jalanan yang diserang bom oleh pesawat-pesawat Jepang.
Di sebuah puncak bukit, kendaraan mereka dihentikan oleh segerombolan KNIL pribumi yang panik. Para serdadu itu menyuruh mereka untuk putar balik karena ada pasukan payung Jepang. McDougall dan jurnalis lain dengan sigap membawa senapan otomatis mereka dan bersembunyi dalam semak.
“Kami mencari-cari hingga horizon, namun tidak menemukan apapun kecuali bercak asap hitam sisa ledakan peluru penangkis serangan udara,” ungkap McDougall. “Lalu kami menyadari apa yang membuat pasukan itu panik. Peluru-peluru penangkis serangan udara itu meletus dan turun ke bawah seperti parasut-parasut hitam.”
Jika letusan penangkis serangan udara itu dapat melumpuhkan militer Belanda, demikian dalam benak jurnalis itu, bukan hal yang mengherankan jika serdadu Jepang dapat bergerak dengan mudah dan cepat.
McDougall menulis petualangannya tadi dalam Six Bells off Java: A Narrative of One Man's Miracle yang diterbitkan Charles Scribner's Sons, New York pada 1948. Buku lain karyanya berjudul By Eastern Windows terbit pada tahun berikutnya. Atas petualangan dan laporan pascaperangnya, McDougall menerima Nieman Fellowship di Harvard University dan juga nominasi Pulitzer Prize.
“Kami mencari-cari hingga horizon, namun tidak menemukan apapun kecuali bercak asap hitam sisa ledakan peluru penangkis serangan udara,” ungkap McDougall.
Bijkerk dan McDougall adalah sebagian dari penyintas kapal “Pulau Bras”. Kapal itu berangkat dari Pelabuhan Ratu, namun ditenggelamkan Jepang pada 7 Maret 1942 di barat laut Pulau Christmas, Samudra Hindia. Perkiraan korban tenggelamnya Poelau Bras mencapai 240 orang, sebanyak 116 orang berhasil selamat dari maut karena sekoci. Selama tiga tahun lebih mereka mendekam terpisah di balik kawat berduri kamp tawanan perang di Sumatra.
Kesaksian Nio Joe Lan
“Sasoedanja Djepang berkoeasa di sini 6 minggoe lamanja, moelai dilakoeken penangkapan pada pemimpin-pemimpin dan journalist-journalist Tionghoa,” ungkap Nio Joe Lan. “Itoe koetika kira-kira djam 9 pagi pada itoe hari Minggu 26 April 1942 jang tida aken bisa terloepa.”
Nio (1904 -1973) merupakan seorang jurnalis yang aktif sebagai pengurus Tiong Hoa Hwe Koan. Karirnya bermula di majalah Penghiboer, berlanjut di surat kabar Keng Po dan harian Sin Po.
“Sasoedanja Djepang berkoeasa di sini 6 minggoe lamanja, moelai dilakoeken penangkapan pada pemimpin-pemimpin dan journalist-journalist Tionghoa,” ungkap Nio Joe Lan.
Nio, yang saat itu berusia 38 tahun, diciduk di rumahnya di Jakarta. Bersama warga Tionghoa laki-laki dari beberapa kota di Jawa, mereka menjadi tawanan Jepang. Awalnya, Nio dan warga Tionghoa lainnya ditempatkan di Bukit Duri, lalu dipindah ke Serang. Kamp terakhirnya adalah Tjimahi, bersama 9.000 warga Belanda.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR