Sepatu saya basah lantaran menyeka rerumputan berembun di Ereveld Pandu, Bandung. Saya berjalan menyusuri barisan salib nisan kayu bercat putih. Kemudian, berhenti sejenak di depan salib yang menyandang nama “Lt.Gen. G.J. Berenschot”. Baris bawahnya tertera “Legercommandant KNIL”. Salib itu juga menerangkan tanggal lahir dan wafatnya.
Saya mengenang sejenak perjalanannya. Dia lahir di Solok, Sumatra Barat pada 24 Juli 1887 dari keluarga Indo-Eropa. Deru pesawat berbaling-baling dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, yang berlokasi di barat daya Ereveld Pandu, kembali mengingatkan saya tentang kemalangan Sang Jenderal itu.
Senin, 13 Oktober 1941 di Batavia. Sebelum kembali ke Bandung, tampaknya Berenschot mampir ke Societeit de Harmonie, kedai sohor tempat sosialita Batavia. Dia memesan semangkuk buillon, santapan semacam sup khas Prancis. Demikian, kisah secarik bon pembayaran “Djongos No.20” tertanggal pada hari itu yang dibubuhi tanda tangan Sang Jenderal. Itulah pesanan terakhirnya.
Sekitar pukul tiga sore di Bandar Udara Kemayoran, Batavia. Sebuah pesawat pengangkut Lockheed Lodestar LT910 milik Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (ML-KNIL), bersama lima awak dan penumpangnya menggilas landas pacu dan berhasil mengangkasa. Mereka hendak menuju Bandung.
Namun, takdir berkehendak lain. Baru lima menit lepas landas, terdapat gangguan serius pada mesin sayap kirinya. Sang pilot memutuskan mendarat darurat. Tak terelakkan lagi. Pesawat terempas dan meledak di permukiman warga tak jauh dari Bandara Kemayoran.
Menurut saksi mata, pesawat kehilangan ketinggian karena mesin kirinya mengalami gangguan kemudian berbelok ke kiri dan menghantam pohon kelapa di kawasan permukiman. Terjadi dua kali ledakan dari tangki bahan bakar.
Akibatnya, beberapa rumah hangus terlalap api. Dikabarkan, api berkobar hebat sehingga membuat regu pemadam kebakaran pertama yang datang mengalami kesulitan untuk memadamkan dan menyelamatkan para penumpang. Pesawat dan juga rumah warga habis terbakar.
Kecelakaan itu telah merenggut seluruh awak dan penumpang, begitu juga 25 warga sipil sebuah kampung di Kemayoran. Hal yang sangat memukul Hindia Belanda, salah satu korban dalam kabin pesawat adalah Letnan Jenderal Gerardus Johannes Berenschot, Panglima KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/Tentara Kerajaan di Hindia Belanda) yang populer.
Kendati ada pergunjingan bahwa kecelakaan pesawat itu berkait dengan sabotase Jepang, hasil penyelidikan menyebutkan bahwa pilot telah salah memperhitungkan dan tergelincir tatkala pesawat berbelok ke arah kiri. Laporan tentang kemalangan Sang Panglima ini diwartakan tak hanya oleh media di Hindia Belanda, tetapi juga media seberang seperti The Argus dan The Canberra Times di Australia.
Selain Berenschot, korban lainnya adalah Kapten Johan Christiaan Frederik Knapp (pilot), Sersan-montir Franciscus van Kampen, Brigadir-zeni Eelco Heinrich Felix de Haan, dan Wing-commander (setara Letnan Kolonel) T. J. L. Watkins dari Royal Air Force (RAF), Inggris. Para korban dievakuasi ke Militair Hygiënisch Instituut van het Militair Hospitaal di Weltevreden, kini Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Sekita lima kilometer dari titik jatuhnya pesawat.
Tiga hari kemudian, empat korban disemayamkan di beranda Departemen Peperangan, Bandung. Ribuan pelayat menghadiri upacara pelepasan. Beberapa diantaranya Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Laksamada Madya Conrad Emil Lambert Helfrich (kelak empat bulan kemudian menjabat panglima kekuatan laut ABDA). Hadir juga, Susuhunan Pakubuwana XI dan K.G.P.A.A Mangkunagara VII.
Mereka dimakamkan di Pandoe-kerkhof, sehamparan permakaman lawas di Bandung. Pada Maret 1948, Ereveld Pandu diresmikan sebagai permakaman militer dan sipil yang tewas sebagai korban perang atau tawanan. Sekitar 4.000 individu, termasuk empat orang tadi, telah dimakamkan kembali di taman makam kehormatan ini.
Selain makam Berenschot, saya juga menjumpai makam Knapp, Kampen, dan De Haan. Makam perwira Inggris yang turut tewas, Watkins, tidak berada di sini, melainkan di Bidadari Cemetery, kawasan berbukit di Singapura.
Pengganti Panglima KNIL berikutnya adalah Kepala Staf KNIL, Letnan Jenderal Hein ter Porten, lelaki kelahiran Bogor. Hein ter Porten, beruntung, tidak mendampingi Berenschot di Batavia lantaran harus bertemu Jenderal Douglas Mac Arthur di Manila.
Sejarah kecelakaan pesawat terbang yang ditumpangi Panglima KNIL tampaknya berulang. Pada 1916, Panglima KNIL Johan Pieter Michielsen juga tewas dalam suatu kecelakaan pesawat terbang di dekat Karawang, Jawa Barat. Kendatipun Sang Panglima tewas, pilot pesawat itu lolos dari maut. Pilot itu adalah Hein ter Porten—pria yang dua kali lolos dari maut.
Kelak, dia akan meniti masa getir beberapa bulan mendatang tatkala Jepang merampas imperium Hindia Belanda yang telah dibangun selama ratusan tahun. Sejatinya, para pejabat sipil dan perwira militer KNIL menyadari bahwa angkatan bersenjata mereka bukan disiapkan untuk tentara tempur, melainkan tentara teritorial.
Jawa pun takluk dalam tempo seminggu. Barangkali inilah upaya terakhir dan terbaik yang didarmakan Ter Porten. Panglima KNIL sebelumnya, Berenschot pernah berkata, “Kita sudah boleh bergembira apabila Jawa bisa bertahan tiga hari, jika diserbu."
Saya kembali berjalan menyusuri barisan salib nisan kayu bercat putih, menuju monumen utama berupa pilar-pilar putih bak pengangkut peti jenazah. Monumen itu berterakan "Opgericht ter gedachtenis aan hen die vielen als offer in de strijd om vrede en recht\'—Didirikan untuk mengenang mereka yang wafat sebagai korban dalam perjuangan untuk perdamaian dan keadilan. Inilah sebuah kawasan senyap di tengah hiruk-pikuknya Bandung, yang menautkan sejarah antara kita dan mereka.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR