Kekhawatiran ini bisa kita refleksikan dengan kondisi Jakarta di mana tata ruang pembangunanya melebihi dari apa yang disebut layak.
Sehingga ini menimbulkan kekhawatiran pembangunan ibu kota akan mengganggu ekosistem hutan dan jadi beban lingkungan.
Kemudian Paulus Yhance Danarto, Dosen Sosial Pembangunan FISIP Universitas Palangkaraya mengatakan kepada Mongabay.co.id berpesan, “Jangan sampai pemindahan ibu kota negara menambah beban lingkungan, pada gilirannya memperparah kerusakan lingkungan,” jelasnya.
Paulus memaparkan, evaluasi kondisi lingkungan harus dilakukan menyeluruh. Atas dasar kepentingan negara dan rakyat, bukan keuntungan bisnis yang rawan manipulasi.
Baca Juga: Gambar dari Luar Angkasa Ini Tunjukkan Seberapa Parah Kebakaran Hutan Amazon
Evaluasi difokuskan pada kelestarian hutan, aktivitas tambang dan perkebunan, serta daerah aliran sungai [DAS] besar.
Berdasarkan data yang didapat dari Greenpeace, tahun 2015 sampai 2018, terdapat lebih dari 3.487 titik panas di Kutai Kertanegara dan daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas lebih dari 35.000 hektar. Tahun ini, jumlah titik panas itu mencapai 105 titik.
Bila pengkajian pemindahan ibu kota baru tidak teliti dan hati-hati dalam memperhatikan ekosistem hutan, tidak menutup kemungkinan kerusakan hutan akan bertambah dan lebih buruknya berulang.
"Takutnya perencanaan tata ruang ini, walau dibilang di hutan produksi, ketika dia nanti melebar dan meluas, kita tidak bisa memastikan bahwa ada jaminan (pembangunan) akan dilakukan di area yang telah didesignasi," ujar Jasmine lagi, melansir dari BBC Indonesia.
Kobarkan Semangat Eksplorasi, National Geographic Apparel Stores Resmi Dibuka di Indonesia
Penulis | : | Mahmud Zulfikar |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR