Sembahyang ini pun ditujukan untuk memberikan persembahan bagi arwah yang dianggap tidak dapat menemukan keluarganya atau ditelantarkan oleh keluarganya di dunia—yang sering disebut gentayangan.
Selain itu, perayaan Cioko juga bertujuan untuk berbagi dengan orang miskin. Belasan bilah pohon pinang berukuran besar nan licin berdiri menopang semacam panggung ringan berisi makanan sebagai simbol persembahan kepada para arwah. Setiap bilah batang pinang akan dipanjat oleh tim pemanjat yang terdiri dari 7 hingga 13 orang untuk beradu cepat mengambil makanan yang tersedia di puncak dan dibagikan kepada orang-orang duafa yang telah menantinya di bawah.
Kemunculannya yang membuat guyup warga dalam setiap perayaan kemerdekaan Republik ini telah menunjukkan bahwa panjat pinang telah menjadi bagian karakter budaya bangsa Indonesia.
Dewasa ini perayaan panjat pinang dalam Cioko juga memiliki makna lain sebagai ‘garebek’ berebut makanan untuk mendapatkan berkah kebahagiaan, jauh dari bencana, dan memperoleh hasil panen yang baik. Makanan yang dijadikan persembahan terdiri atas aneka hidangan berbahan dasar daging, ikan, cumi, udang, babi, dan sayur-mayur. Makanan tersebut ditata pada panggung persembahan yang ditopang oleh batang-batang pinang dengan bendera di setiap puncaknya.
Beberapa catatan mengenai perayaan sembahyang Cioko di Indonesia pernah diadakan panggung panjat pinang di beberapa daerah di Jawa seperti yang disebutkan oleh Marcus A.S. dalam buku Hari-hari Raya Tionghoa. Marcus mengungkapkan perayaan sembahyang ‘rebutan’ marak diadakan di klenteng-klenteng pada masa awal abad ke-20 dengan bentuk panggung panjat pinang yang lebih pendek dari bentuk panjat pinang di Toucheng, biasaya berlangsung pada pertengahan Agustus. Barangkali bentuk perayaan inilah yang menjadi inspirasi panjat pinang yang telah dimodifikasi dengan karakter Indonesia.
Baca juga: Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta
Menurut saya, panjat pinang merupakan salah satu mata rantai dalam tradisi budaya Cina yang berkembang di Nusantara, kendati tradisi ini mulai populer pada pertengahan abad ke-19 atau zaman kolonial di Hindia Belanda. Kemunculannya yang membuat guyup warga dalam setiap perayaan kemerdekaan Republik ini menunjukkan bahwa panjat pinang telah menjadi bagian karakter budaya bangsa Indonesia. Orang Betawi pun menyebut lomba panjat pinang ini dengan coko.
Tidak semua hal yang semasa dengan zaman kolonial harus dilenyapkan. Toh, kita masih berbangga hati kala menyaksikan keindahan gedung-gedung tua nan eksotis, menikmati perjalanan di atas rel kereta, atau melintasi Jalan Raya Pos warisan Belanda.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR