Siapapun yang bermukim di Republik ini, umumnya mengenal salah satu mata acara paling tenar pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia: Lomba panjat pinang.
Batang pohon pinang dengan tinggi antara 10-15 meter telah menjulang. Seluruh badannya dibaluri minyak pelumas, dan pada bagian puncaknya telah menjuntai aneka hadiah. Tim pemanjat bahu-membahu berusaha mengambil hadiah dengan beragam gaya dan cara memeluk si batang pinang.
Sementara para pemanjat berlumuran minyak pelumas dan keringat kawan mereka, para penonton bersorak-sorai memberikan semangat. Tontonan panjat pinang mampu menghadirkan gemuruh tawa dan keriaan semesta tatkala si pemanjat yang sudah berada di ketinggian tiba-tiba melorot—demikian juga kolornya. Minyak pelumas telah menyulap bak pinang menjadi selicin belut.
Tampaknya panjat pinang memiliki sejarah nan panjang dan sudah sangat populer di Nusantara.
Serupa tapi tak sama, atraksi panjat pinang mengingatkan saya pada sebuah atraksi panjat bambu berpelumas di sebuah daerah pesisir timur Taiwan, tepatnya di Toucheng, wilayah Yilan. Panjat pinang di Toucheng, Taiwan diduga merupakan warisan dari Dinasti Qing, atau Manchu. Sebuah sumber menyebutkan bahwa tradisi panjat pinang muncul sekitar 1820-1850.
Tontonan panjat pinang mampu menghadirkan gemuruh tawa dan keriaan semesta tatkala si pemanjat yang sudah berada di ketinggian tiba-tiba melorot—demikian juga kolornya.
Nama perayaannya adalah Qianqu atau ‘grebeg arwah gentayangan’. Mereka merayakannya setiap tahun pada tanggal 15 bulan ke tujuh dalam kalender Cina. Perayaan itu dikenal juga dengan ‘bulan arwah’ atau ‘gui yue’ atau dalam perayaan umat Taois disebut juga zhongyuan. Biasanya bertepatan pada pertengahan Agustus atau awal September.
Dalam agama Buddha, upacara ritual ini dikenal juga dengan nama Ulambana, di Jepang dikenal dengan nama Obon. Sementara di Indonesia, upacara ini disebut (Sembahyang Rebutan) Cioko.Boleh dikata, inilah perayaan Halloween ala pecinan.
Menurut Stephen F.Teiser dalam bukunya The Ghost Festival in Medieval China, perayaan bulan arwah, yang sejatinya berasal dari India, dilaksanakan besar-besaran pada masa Dinasti Tang (618-907) dan dilanggengkan hingga masa dinasti-dinasti berikutnya. Namun catatan resmi pertama mengenai upacara ini muncul pada masa Dinasti Ming pada 1368, masa kepemimpinan Kaisar Hong Wu.
Seiring dengan migrasi orang Cina, perayaan itu pun tersebar di seantero Asia Timur sampai Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, perayaan Cioko pada awal abad ke-20 sangat ramai, bahkan “rebutan” sampai menyebabkan perkelahian besar. Pun di Singapura, sembahyang Cioko akhirnya dihapuskan pada 1906 akibat perkelahian dan menyebabkan banyak kerugian.
Baca juga: Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura
Perayaan Cioko mempunyai makna untuk memberikan persembahan kepada para arwah yang tengah berkunjung ke Bumi ketika pintu neraka dan pintu surga dibuka. Mereka, para arwah, dapat mengunjungi sanak keluarga, semacam jembatan antara dunia manusia dan dunia arwah, menautkan dunia profan dan dunia sakral.
Sembahyang ini pun ditujukan untuk memberikan persembahan bagi arwah yang dianggap tidak dapat menemukan keluarganya atau ditelantarkan oleh keluarganya di dunia—yang sering disebut gentayangan.
Selain itu, perayaan Cioko juga bertujuan untuk berbagi dengan orang miskin. Belasan bilah pohon pinang berukuran besar nan licin berdiri menopang semacam panggung ringan berisi makanan sebagai simbol persembahan kepada para arwah. Setiap bilah batang pinang akan dipanjat oleh tim pemanjat yang terdiri dari 7 hingga 13 orang untuk beradu cepat mengambil makanan yang tersedia di puncak dan dibagikan kepada orang-orang duafa yang telah menantinya di bawah.
Kemunculannya yang membuat guyup warga dalam setiap perayaan kemerdekaan Republik ini telah menunjukkan bahwa panjat pinang telah menjadi bagian karakter budaya bangsa Indonesia.
Dewasa ini perayaan panjat pinang dalam Cioko juga memiliki makna lain sebagai ‘garebek’ berebut makanan untuk mendapatkan berkah kebahagiaan, jauh dari bencana, dan memperoleh hasil panen yang baik. Makanan yang dijadikan persembahan terdiri atas aneka hidangan berbahan dasar daging, ikan, cumi, udang, babi, dan sayur-mayur. Makanan tersebut ditata pada panggung persembahan yang ditopang oleh batang-batang pinang dengan bendera di setiap puncaknya.
Beberapa catatan mengenai perayaan sembahyang Cioko di Indonesia pernah diadakan panggung panjat pinang di beberapa daerah di Jawa seperti yang disebutkan oleh Marcus A.S. dalam buku Hari-hari Raya Tionghoa. Marcus mengungkapkan perayaan sembahyang ‘rebutan’ marak diadakan di klenteng-klenteng pada masa awal abad ke-20 dengan bentuk panggung panjat pinang yang lebih pendek dari bentuk panjat pinang di Toucheng, biasaya berlangsung pada pertengahan Agustus. Barangkali bentuk perayaan inilah yang menjadi inspirasi panjat pinang yang telah dimodifikasi dengan karakter Indonesia.
Baca juga: Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta
Menurut saya, panjat pinang merupakan salah satu mata rantai dalam tradisi budaya Cina yang berkembang di Nusantara, kendati tradisi ini mulai populer pada pertengahan abad ke-19 atau zaman kolonial di Hindia Belanda. Kemunculannya yang membuat guyup warga dalam setiap perayaan kemerdekaan Republik ini menunjukkan bahwa panjat pinang telah menjadi bagian karakter budaya bangsa Indonesia. Orang Betawi pun menyebut lomba panjat pinang ini dengan coko.
Tidak semua hal yang semasa dengan zaman kolonial harus dilenyapkan. Toh, kita masih berbangga hati kala menyaksikan keindahan gedung-gedung tua nan eksotis, menikmati perjalanan di atas rel kereta, atau melintasi Jalan Raya Pos warisan Belanda.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR