Nationalgeographic.co.id – The Flame (Bara) merupakan salah satu film yang lolos tahap seleksi Goodpitch. Dilatarbelakangi dengan meningkatnya deforestasi yang terjadi di Indonesia sutradara The Flame mengangkat kisah seorang pejuang hutan adat yang tak kenal kata menyerah dalam hidupnya.
Adanya deforestasi menyebabkan Kalimantan kehilangan 56% hutannya dalam dua dekade terakhir. Jumlah kehilangan lahan yang besar ini menjadi dasar pembuatan film The Flame. Arfan Sabran, sutradara The Flame mengatakan fokus yang dipusatkan masyarakat saat ini hanya sekedar menyoroti permasalahan kebakaran hutan, penebangan hutan namun sebenernya ada perjuangan yang dilakukan di dalamnya.
“Bahwa di dalam salah satu komponen hutan juga adalah masyarakat adat, karena mereka adalah orang-orang yang sebenarnya sudah berabad-abad hidup dengan hutan dan punya local wisdom untuk menjaga hutan, jadi memang mereka salah satu yang melindungi hutan kita,”ujar Arfan saat ditemui di Mapple and Oak pada Jumat, 6 September 2019 lalu.
Ketika berbicara mengenai deforestasi terkadang kehidupan masyarakat di dalamnya diabaikan sehingga The Flame berusaha melukiskannya melalui dokumenter yang dilandaskan pada kisah nyata. Mengambil sudut pandang dari seorang laki-laki paruh baya bernama Iber Jamal, yang berusaha memperjuangkan hutan adat.
Pertemuan Arfan dengan pejuang hutan adat ini pertama kali di tahun 2014. Berawal dari pembuatan projek film lain yang membahas mengenai kebakaran hutan di Kalimantan menuntunnya untuk bertemu dengan Iber Jamal.
“Waktu di kalimantan saya menemukan fakta bahwa ada sejarah kelam tentang deforestasi di jaman orde baru ada proyek ambisius Mega Rice Project pembukaan lahan 1 juta hektar PLG untuk diubah jadi sawah, waktu itu ambisinya untuk revolusi hijau pada saat itu, tiba-tiba hal ini mempertemukan saya dengan Pak Iber,”paparnya.
Memperjuangkan hutan adat tidaklah mudah. Dilandasi dengan semangat juang untuk mendapatkan haknya, Arfan berusaha membantu Iber untuk mewujudkan hal tersebut.
“Waktu itu Pak Iber tiba-tiba menangis di depan saya lalu saya mencoba menggali lagi, faktanya memang sejak Mega Rice Project itu kemudian terjadilah hutan terus terbakar dari tahun ke tahun di Kalimantan,” ujarnya.
The Flame menceritakan tiga generasi dari keluarga Iber Jamal. Generasi pertama yang mengambil sudut pandang Iber Jamal dengan cerita masa lalunya mengenai perencanaan Mega Rice Project dan terjadinya deforestasi yang meningkat. Hal ini membangun semangatnya untuk membela hutannya dengan ingin menjadikannya sebagai hutan adat. Generasi kedua berfokus kepada Ardianto anak Iber Jamal yang membuka stasiun pengisian air dan tidak menyetujui perjuangan ayahnya. Ardianto memilih untuk mencari nafkah dan melupakan ambisi ayahnya melegalkan hutan mereka. Generasi ketiga adalah cucunya yang masih berumur 5 tahun yang sangat dekat dengan Iber Jamal dan terus bertanya mengenai kehidupan di hutan. Hal ini memberikan Iber Jamal dorongan tersendiri untuk memperjuangkan hutannya agar generasi saat ini dapat belajar dan tetap mencintai alam.
Perjuangan Iber Jamal untuk mewujudkan hutan adat sudah berlangsung sejak 2015. Namun untuk melawan adanya Proyek Lahan Gambut (PLG) sudah dilakukannya sejak tahun 1996. Banyaknya persyaratan dan dokumen yang harus diurus dan dilengkapi membutuhkan waktu sekitar tiga tahun hingga akhirnya dokumen itu bisa diproses.
“Jadi regulasi ini harus jelas dan aturannya harus jelas, jadi meskipun kita sudah empat tahun berjuang ya kita masih bisa, cuman ya belum ditangan kita sertifikatnya, tapi ya namanya perjuangan itu ya perjuangan itu adalah pengorbanan bagi kami,” ujar Iber.
Cerita perjuangan Iber Jamal dengan segala konflik yang dialaminya, salah satunya PLG yang menghabiskan lahan 1,5 juta hektar dan hak memperjuangkan hutan adat dirangkum dengan visual yang menarik dalam film dokumenter ini. Menceritakan 3 generasi dari satu keluarga dengan perspektif yang berbeda membuat film ini mempunyai alur cerita yang tidak biasa.
Penulis | : | Silvia Triyanti Luis |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR