Nationalgeographic.co.id - Di India Timur, bulan-bulan musim dingin jauh lebih menarik dibanding musim panas. Antara Desember dan Februari, udara panas yang menyesakkan menjadi lebih lembut.
Warga India yang menyukai kegiatan alam bebas, pergi ke sungai atau pantai untuk makan-makan, bernyanyi, dan menari, selama satu hari.
Sekelompok sahabat dan keluarga biasanya menyewa bus untuk pergi ke lokasi piknik. Mereka membawa banyak makanan serta minuman beralkohol. Sesaat setelah mendirikan tenda, kelompok tersebut lalu menyalakan lagu pop khas India dan memasak ayam dan nasi di atas api terbuka–sambil ditemani dengan wiski dan rum.
Di pinggir sungai atau pantai, mereka akan bermain dan menari hingga kelelahan.
Baca Juga: Lima Fakta Tentang Memek, Kuliner Aceh yang Jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Arko Datto, fotografer asal Kolkata, mengamati tradisi piknik warga India tersebut selama bertahun-tahun, meskipun keluarganya tidak pernah melakukannya.
Ketertarikannya untuk memotret tradisi ini, berawal ketika ia mengobservasi insiden tragis di mana sebuah perahu yang membawa sekelompok warga untuk piknik, terbalik di sungai. Menurut keterangan Datto, perahu itu membawa muatan yang melebihi kapasitasnya.
Datto tak ingat berapa jumlah korban. Yang pasti, setelah itu, ia jadi tertarik mendokumentasikan kegiatan piknik musim dingin.
Sisi gelap
Untuk sebuah kegiatan yang berakar dari pesta pora, Datto berharap hasil fotonya juga dapat menunjukkan sisi gelap tradisi piknik ini. Ia ingin gambarnya berhasil mencerminkan isu sosial di India, seperti kesenjangan gender dan kejahatan pada perempuan yang meningkat dalam lima tahun terakhir.
“Di tempat umum, sulit bagi pria dan wanita untuk berkumpul bersama-sama. Bahkan, untuk kegiatan sesimpel piknik,” kata Datto.
Sekelompok dewasa muda–kebanyakan pria–menghabiskan waktu piknik mereka dengan mengonsumsi minuman keras. Perkelahian akibat mabuk menjadi hal biasa. Sementara, wanita yang ikut piknik tanpa didampingi keluarganya, mendapat perlakuan kurang menyenangkan pada akhirnya.
Datto pun harus hati-hati ketika mengambil gambar. Salah satu tantangan menjadi fotografer adalah kameranya dapat menarik perhatian para pria muda yang sedang berkelahi.
Dalam salah satu foto Datto, terlihat sekelompok pria yang terlibat cekcok akibat mabuk dan memperebutkan seorang perempuan.
Pada gambar lainnya, terdapat kerumunan yang sedang menahan dua orang yang diduga menyerang wanita.
Isu lingkungan
Selain masalah sosial, potret Datto juga menampilkan isu lingkungan. Berbulan-bulan piknik tanpa henti dapat menurunkan kualitas bantaran sungai yang menjadi tuan rumah piknik musim dingin ini.
Di lokasi piknik di sungai Gangga, dekat dengan pabrik batu bata, beberapa warga menutupi tubuh mereka dengan lumpur. Di salah satu foto, tubuh para pria terlihat dilumuri lumpur sungai yang keruh dari ujung kepala sampai kaki.
Setelah berjam-jam membiarkan lumpur itu mengering dan mengeras di kulit mereka, para pria lalu segera mengelupasnya.
“Itu dimaksudkan sebagai terapi, tapi sayangnya, lumpur itu sebenarnya tercemar,” kata Datto.
Berendam di dalam lumpur memang merupakan salah satu bentuk terapi yang sudah dilakukan di beberapa negara. Namun, ketika lumpur yang digunakan tercemar, jenis terapi ini lebih memberikan bahaya, dibanding manfaat.
Faktanya, Gangga juga menjadi salah satu sungai beracun di dunia. Kontaminasi bertahun-tahun dari kotoran manusia dan limbah industri, menyisakan air sungai yang penuh bakteri berbahaya, dan karsinogen.
Baca Juga: Ma’Nene Toraja, Ritual Mayat Ratusan Tahun Berganti Pakaian
Datto tidak bermaksud menggambarkan piknik sebagai kegiatan yang baik atau buruk. Ia hanya ingin menunjukkan apa adanya.
Tradisi piknik musim dingin ini diselenggarakan dalam berbagai bentuk, dan Datto berharap, dapat menangkap keragaman perilaku warga India di sana. Misalnya, foto para pria yang berkelahi, keluarga yang menghabiskan waktu bersama, serta anak-anak yang bermain di luar ruangan.
Secara keseluruhan, bagi Datto, tradisi piknik ini merupakan potret kekacauan yang menakjubkan.
Source | : | Sarah Gibbens/National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR