Nationalgeographic.co.id - Pernahkah Anda bertanya-tanya, apa yang akan dialami tubuh setelah kematian? Ada banyak hal yang dilakukan oleh manusia agar tubuh orang yang meninggal dunia bisa bertahan lebih lama atau awet. Namun, pada dasarnya secara alami tubuh akan mengalami prosesnya sendiri setelah kematian.
Dilansir dari Mother Nature Network, 17 September 2019, berikut adalah enam hal aneh yang akan terjadi pada tubuh setelah kematian:
Sel-sel terbuka
Proses di mana tubuh manusia terurai dimulai hanya beberapa menit setelah kematian. Ketika jantung berhenti berdetak, tubuh akan mengalami algor mortis atau kematian dingin. Istilah ini merujuk pada fenomena ketika suhu tubuh turun sekitar 0,8 derajat celcius setiap jam setelah kematian hingga mencapai suhu ruangan.
Bersamaan dengan kejadian ini, darah juga akan dengan cepat menjadi lebih asam ketika karbon dioksida menumpuk.Kedua hal ini menyebabkan sel membelah dan mengosongkan enzim ke dalam jaringan, yang membuat jaringan mencerna dirinya sendiri dari dalam.
Warna tubuh menjadi putih dan ungu
Gravitasi memiliki pengaruh yang aneh pada tubuh manusia setelah kematian. Ketika sirkulasinya terhenti, sel darah merah yang berat akan bergerak ke bagian tubuh yang paling dekat dengan tanah.
Ini membuat seluruh tubuh menjadi pucat, kecuali di bagian bawah yang mengalami bercak-bercak ungu. Bercak-bercak ini dikenal sebagai livor mortis. Dengan mempelajari tanda-tanda livor mortis, pakar forensik dapat mengetahui kapan tubuh mengalami kematian.
Kalsium membuat otot berkontraksi
Selain algor mortis dan livor mortis, tubuh juga mengalami rigor mortis yaitu keadaan di mana mayat menjadi kaku dan sulit bergerak. Pada umumnya, rigor mortis berlangsung sekitar tiga hingga empat jam setelah kematian, puncaknya pada 12 jam dan akan menghilang setelah 48 jam.
Hal tersebut terjadi karena pompa di selaput sel otot yang mengatur kalsium di tubuh berhenti bekerja. Akibatnya, kalsium membanjiri sel, dan menyebabkan otot berkontraksi serta mengeras kaku.
Tubuh mencerna dirinya sendiri
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR