Perjuangan Yulianti membuahkan hasil. Ada beberapa orangtua yang akhirnya bersedia menyekolahkan anaknya.
Pada 2015, Yulianti kemudian merelakan rumahnya untuk menjadi tempat belajar. Namun, belajar di ruangan berukuran 2x4 meter memang terasa kurang maksimal. Tanpa meja dan kursi, anak-anak mengerjakan tugas. Terkadang ada beberapa orang yang kehilangan konsentrasi, meski setelahnya langsung dipandu oleh gurunya.
Tidak dapat dipungkiri, dana dan keterbatasan fasilitas memang menjadi kendala Yulianti. Ruang tamunya yang kecil tidak bisa menampung banyak ABK.
Selain itu, anak-anak tidak hanya belajar mewarnai, membaca, atau motorik halus, mereka juga butuh belajar di luar ruangan. Piknik atau berenang pun tidak bisa sering-sering dilakukan karena keterbatasan biaya. Padahal, berenang merupakan salah satu bentuk terapi yang baik bagi sebagian ABK.
Melihat hal tersebut, Pertamina TBBM Bandung Group memutuskan terdorong untuk ikut membantu mengembangkan sekolah ABK yang didirikan Yulianti.
“Bantuan diberikan dalam bentuk fasilitas untuk mendukung proses belajar mengajar,” papar Bambang Soeprijono, Operation Head PT Pertamina (Persero) TBBM Bandung Group.
Bantuan tahap pertama diberikan dalam bentuk perlengkapan belajar seperti buku, pensil warna, cat air, alat peraga belajar, dan juga seragam. Kelas pun ditambah untuk menampung lebih banyak murid.
Pada tahun 2019, kelas tambahan selesai dibangun. Untuk mempermudah transportasi dan antar jemput anak-anak, Pertamina juga memberi bantuan mobil home care. “Dreamable berarti anak-anak berkebutuhan khusus bisa memiliki mimpi. Kami berharap, program ini menjadi solusi mewujudkan kemandirian anak-anak sehingga nanti dapat meraih mimpinya,” ujar Bambang.
Dengan penambahan fasilitas yang telah diberikan oleh Pertamina, Yulianti tidak lantas berpuas diri. Ia masih terus menjaring murid dan mengembangkan program yang berguna bagi anak didiknya.
Hampir setiap hari, dimulai dari pukul delapan hingga sebelas pagi, para ABK berkumpul untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Setelah belajar, mereka bersama-sama menyantap bekal yang dibawa.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR