Nationalgeographic.co.id – Awalnya tidak pernah terpikir oleh Yulianti (36) untuk menyelenggarakan kegiatan belajar dan mengajar bagi anak berkebutuhan khusus (ABK)–apalagi sampai mendirikan sekolah nonformal.
Namun, suatu hari, Yulianti sadar bahwa ABK bisa dididik untuk mandiri. Soal ini, ia berkaca pada pengalamannya sendiri. Sang buah hati, Hanif Naufal, adalah tunagrahita. Meski tetangga maupun keluarganya sempat berpikir kalau Hanif tidak perlu disekolahkan, tapi Yulianti tidak menyerah dan ingin putranya mendapat pendidikan.
Pertama-tama, ia membekali Hanif dengan pendidikan bina diri. Hanif diajarkan untuk mandi, membersihkan rumah, mencuci piring, mengaji, dan melakukan kegiatan sehari-hari. Berkat kegigihannya, Yulianti berhasil mendidik putranya menjadi mandiri. Sekarang Hanif sudah bisa makan dan mandi sendiri. Bahkan bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, seperti menyapu, mengangkat jemuran, dan mencuci piring.
Menurutnya, yang diperlukan oleh seorang anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan bina diri hingga kelak mereka bisa mandiri. Adam, nama panggilan Hanif, sekarang sudah duduk di bangku kelas 3 SMU SLB Arrahman.
Baca Juga: Semangat Sekolah Dreamable Ajarkan Kemandirian Bagi Anak-anak Berkebutuhan Khusus
Melihat kemajuan Hanif, Yulianti pun optimis ABK lainnya bisa melakukan hal sama jika diajarkan. Ia berniat mendirikan sekolah nonformal bagi ABK.
Yulianti kemudian mencari tahu lebih banyak mengenai pendidikan luar biasa dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa di Universitas Islam Nusantara, Bandung.
Ternyata ia tak sendiri. Dari hasil pendataan dan “penjaringan” ABK di lingkungan rumahnya di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Yulianti mencatat ada beberapa keluarga dengan anak berkebutuhan khusus.
Tantangan pertama yang dihadapi Yulianti adalah penolakan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Mereka tidak ingin menyekolahkan anaknya karena skeptis akan kemampuan sang buah hati. Bahkan, ada orangtua yang mengatakan: “Ah, buat apa sekolah? Anak ini kan gila, percuma disekolahin!”
Yang lebih menyedihkan, ada keluarga yang sengaja menyembunyikan karena malu dengan kondisi anaknya.
“Ada anak yang sering diajak mengemis, tapi ada juga yang dibiarkan saja telanjang setiap hari,” cerita Yulianti.
Meski kerap mendapatkan penolakan, tapi Yulianti dan rekan-rekannya justru semakin gigih meyakinkan para orangtua ABK. Mereka terus melakukan kunjungan dan pendekatan kepada orang tua. Tidak lupa menceritakan keberhasilannya dalam mengasuh Adam.
Perjuangan Yulianti membuahkan hasil. Ada beberapa orangtua yang akhirnya bersedia menyekolahkan anaknya.
Pada 2015, Yulianti kemudian merelakan rumahnya untuk menjadi tempat belajar. Namun, belajar di ruangan berukuran 2x4 meter memang terasa kurang maksimal. Tanpa meja dan kursi, anak-anak mengerjakan tugas. Terkadang ada beberapa orang yang kehilangan konsentrasi, meski setelahnya langsung dipandu oleh gurunya.
Tidak dapat dipungkiri, dana dan keterbatasan fasilitas memang menjadi kendala Yulianti. Ruang tamunya yang kecil tidak bisa menampung banyak ABK.
Selain itu, anak-anak tidak hanya belajar mewarnai, membaca, atau motorik halus, mereka juga butuh belajar di luar ruangan. Piknik atau berenang pun tidak bisa sering-sering dilakukan karena keterbatasan biaya. Padahal, berenang merupakan salah satu bentuk terapi yang baik bagi sebagian ABK.
Melihat hal tersebut, Pertamina TBBM Bandung Group memutuskan terdorong untuk ikut membantu mengembangkan sekolah ABK yang didirikan Yulianti.
“Bantuan diberikan dalam bentuk fasilitas untuk mendukung proses belajar mengajar,” papar Bambang Soeprijono, Operation Head PT Pertamina (Persero) TBBM Bandung Group.
Bantuan tahap pertama diberikan dalam bentuk perlengkapan belajar seperti buku, pensil warna, cat air, alat peraga belajar, dan juga seragam. Kelas pun ditambah untuk menampung lebih banyak murid.
Pada tahun 2019, kelas tambahan selesai dibangun. Untuk mempermudah transportasi dan antar jemput anak-anak, Pertamina juga memberi bantuan mobil home care. “Dreamable berarti anak-anak berkebutuhan khusus bisa memiliki mimpi. Kami berharap, program ini menjadi solusi mewujudkan kemandirian anak-anak sehingga nanti dapat meraih mimpinya,” ujar Bambang.
Dengan penambahan fasilitas yang telah diberikan oleh Pertamina, Yulianti tidak lantas berpuas diri. Ia masih terus menjaring murid dan mengembangkan program yang berguna bagi anak didiknya.
Hampir setiap hari, dimulai dari pukul delapan hingga sebelas pagi, para ABK berkumpul untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Setelah belajar, mereka bersama-sama menyantap bekal yang dibawa.
Tidak hanya beristirahat sejenak dan mengisi perut, anak-anak juga belajar cara makan. Dimulai dari mengenalkan berbagai jenis makanan seperti ikan, ayam, dan telur, hingga melatih mereka agar bisa memegang sendok dan makan sendiri tanpa disuapi. Bagi kita, kebiasaan makan ini adalah hal yang mudah. Namun, bagi ABK, perlu waktu yang lama agar mereka benar-benar bisa melakukannya, dan harus dilakukan berulang-ulang agar mereka tidak lupa.
Selain membina diri, anak-anak ini juga diajarkan salat, menghapal doa, dan surat-surat pendek. Mereka juga berlatih membaca dan menulis, berolahraga, dan mencoba mengenal lingkungan sekitarnya dengan kegiatan luar ruangan.
Tidak mudah memang mendidik anak berkebutuhan khusus. Dibutuhkan kesabaran ekstra, penuh kasih sayang, serta dedikasi tanpa batas. Namun, jika ditanya bagaimana kesan Yulianti selama mendidik anak ABK, ia dengan yakin menjawab: “Dukanya sedikit, banyakan sukanya.”
Baca Juga: Ceria Bersama Anak-anak Dreamable, Dari Impian Menjadi Kenyataan
Tak ada yang lebih menyenangkan bagi Yulianti selain melihat anak-anak didiknya bisa melakukan kegiatan sehari-hari. Mulai dari hal terkecil seperti makan, membersihkan kotoran, mandi, dan memakai baju sendiri.
Ia mengaku bahagia melihat perkembangan anak didiknya–dari yang tidak bisa apa-apa sampai bisa melakukan hal sederhana.
Yulianti yakin, dengan pendidikan dan pelatihan yang tepat di Sekolah Dreamable, ABK kelak bisa menjadi pribadi mandiri. Ia berharap, nantinya mereka dapat hidup berdampingan dan bersosialisasi dengan masyarakat.
“Jika orang tua atau keluarga mereka kelak sudah tidak ada, paling tidak mereka mampu hidup sendiri,” pungkas Yulianti.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR