Nationalgeographic.co.id – Tidak pernah terpikir oleh Atih Ratna Sari (35) bahwa kepindahannya ke Dusun Bondan, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, beberapa tahun silam akan membawanya pada kegelapan. Mengikuti orangtua, Atih yang saat itu baru lulus Sekolah Dasar, harus meninggalkan Karawang demi mendapat kehidupan yang lebih baik.
Namun ternyata, tempat tinggal barunya tersebut sangat terpencil dan tidak teraliri listrik sama sekali--meski hasil tambaknya memang melimpah. Bertahun-tahun, Atih kesulitan belajar di malam hari. Selain itu, ia tidak bisa mendapat hiburan dari televisi, radio, atau telepon genggam.
“Kalau malam harus menggunakan pelita untuk penerangan. Tidak bisa melakukan banyak hal di malam hari karena gelap,” kata Atih.
Selain menggunakan pelita minyak tanah, sebagian warga terkadang harus menarik kabel dari desa lain untuk mengalirkan listrik dengan jarak hingga 5 kilometer.
Cahaya untuk dusun Bondan
Ya, dusun Bondan termasuk wilayah pelosok di Kabupaten Cilacap. Untuk menjangkau wilayah ini harus menggunakan perahu compreng atau kapal kecil dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam dari Dermaga Sleko, yang lokasinya tidak jauh dari Nusakambangan.
Warga dusun Bondan bukannya pasrah begitu saja, mereka sempat meminta bantuan kepada pemerintah. Namun, menurut Apudin, salah satu penggerak masyarakat di wilayah tersebut, jumlah penduduk yang sedikit serta sulitnya akses, membuat pemerintah mengalami kesulitan.
“Mereka terkendala masalah jalur jauhnya, di sini cuma ada 80 kepala keluarga (KK), sementara jarak dari kampung sampai tujuh kilometer. Mereka itu terbebani masalah tiangnya dan jalurnya, makanya tidak bisa. Bahkan tahun 2013 ada program penerangan cepat, saya langsung mengajukan ke rayon, tapi tetap tidak bisa juga,” cerita Apudin.
Baca Juga: Dari Jamur ke Gaya Hidup Bebas Sampah, Kreativitas Warga Desa Kemiren Asri Manfaatkan Limbah
Cahaya baru menerangi dusun Bondan pada 2017, ketika Pertamina Refinery Unit IV Cilacap menghadirkan Energi Mandiri Tenaga Surya dan Angin (Emas Bayu) di sana. Teknologi hybrid yang merupakan perpaduan antara panel surya dan kincir angin ini, diharapkan bisa memberikan kesejahteraan bagi warga dusun Bondan yang selama ini tertinggal.
“Pada tahun 2017, setelah melakukan pengkajian dan pendataan, Pertamina melakukan pembangunan instalasi 5 kincir dan 24 panel surya. Tujuannya agar masyarakat di dusun tersebut dan sekitarnya bisa mendapatkan energi untuk penerangan kehidupan mereka,” ungkap Unit Manager Comm, Rel & CSR Refinery Unit IV Cilacap, Laode Syarifuddin Mursali.
Saat ini, dari 80 KK ada 37 yang sudah teraliri listrik. Kapasitas pembangkit listrik sebesar 12.000 WP tersebut juga mampu menerangi 1 masjid, 1 sekolah dan 2 rumah produksi.
Atih mengatakan, jika dulu ia tidak bisa melakukan banyak hal di malam hari dan hidup monoton, kini setelah ada listrik, ia bisa menjadi lebih maju. Kehidupan sehari-hari pun menjadi lebih mudah karena bisa mulai menggunakan alat elektronik. Untuk masak nasi misalnya, ia sekarang bisa menggunakan rice cooker.
Meski begitu, menurut Atih, yang terpenting, saat ini anak-anaknya bisa belajar dengan nyaman di malam hari. “Mereka bisa mengerjakan PR dengan cahaya lampu, tidak dalam gelap lagi,” ujarnya.
Meningkatkan pendapatan
Apudin yang saat ini menjadi penanggung jawab PLTH, mengatakan bahwa perkembangan dusun Bondan menjadi lebih signifikan setelah teraliri listrik, termasuk dalam bidang ekonomi.
“Setelah adanya PLTH, dusun semakin berkembang. Masyarakat lebih berdaya sehingga saya mencari solusi lain agar manfaatnya berkelanjutan. Saya pun membuat UMKM untuk meningkatkan produk lokal,” katanya.
Bersama dengan warga dusun Bondan lainnya, Apudin mengolah hasil tambak mereka menjadi produk makanan seperti sistik ikan dan udang, kerupuk dan rengginang udang.
Hal ini baru bisa mereka lakukan setelah adanya PLTH. Dulu, warga dusun Bondan harus langsung menjual hasil tambaknya ke tengkulak karena mereka tidak ada listrik untuk menjalankan mesin pendingin. Daripada busuk, mereka rela hasil tambaknya dijual dengan murah.
“Sebelum ada listrik, kami harus segera menjual hasil tambak ke tengkulak. Bisa dibilang kami dimonopoli karena tengkulak meminta harga murah. Dulu satu kilo udang dihargai Rp11 ribu, tapi kini setelah berhasil mengolahnya, kami bisa mendapat keuntungan hingga Rp30 ribu,” papar pria berusia 39 tahun ini.
Baca Juga: Perjuangan Desa Doudo Bangkit dari Kekeringan dan Menjadi Desa Nan Asri
Pertamina pun turut membantu meningkatkan kemandirian masyarakat dusun Bondan ini melalui program Energi Mandiri Tambak Ikan (Embak Mina). Mereka memberikan bantuan untuk menyimpan dan mengolah bahan baku, seperti mesin pendingin, mixer, dan blender.
Selain itu, beberapa warga Dusun Bondan juga diajak mengikuti pelatihan wirausaha agar semakin bisa memajukan produknya.
Diketahui bahwa pendapatan warga dusun Bondan meningkat sebesar 50% setelah adanya PLTH. Setiap bulan, anggota kelompok bisa mendapatkan untung sebesar satu juta rupiah dari produk olahan ikan dan udang yang mereka buat.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR