Siapa tak kenal Candi Borobudur? Megastruktur warisan wangsa Syailendra yang dibangun mulai abad 8 ini merupakan bangunan candi dan kitab pengetahuan Buddha terbesar di dunia. Ia menjadi kejutan dunia sejak pertama kali ‘ditemukan’ dan dicatat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Raffles atas petunjuk seorang Kapitan Cina asal Ketandan Yogyakarta – Tan Jing Sing dan anak buahnya pada tahun 1800. Perlahan, Borobudur dengan jumlah panel relief candi 2.672 sepanjang sekitar 4 km ini menjadi satu-satunya candi Buddha yang memiliki "Relief Candi Terpanjang di Dunia" menjadi destinasi pariwisata kelas dunia. Pasca ditetapkannya Candi Borobudur menjadi Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991, ia menjadi jujugan turistis. Kini tak kurang dari 3,5 juta pengunjung setiap tahunnya memadati benda cagar budaya ini.
Semenjak Borobudur ditetapkan sebagai destinasi super prioritas oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada tahun 2019, maka Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berkomitmen untuk bekerja sama dengan pelbagai pihak untuk mendukung kegiatan pariwisata kreatif di Borobudur dan sekitarnya. Termasuk bekerja sama dengan civitas akademik Universitas Gajah Mada Program Studi Pariwisata untuk mengembangkan narasi kisah (storytelling) beserta interpretasi Borobudur dan sekitarnya yang dapat diimplementasikan untuk aneka kebutuhan pengembangan dan pengelolaan wisata tematik diantaranya heritage trail, kepemanduwisataan, cinderamata dan lainnya.
Proses persiapan dan pembuatan storytelling yang tidak lepas dari proses pengemasan produk pariwisata sejarah budaya yang merupakan kegiatan kolaborasi antara Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah Religi Seni Tradisi dan Budaya dan Asisten Deputi Bidang Budaya, Deputi Kelembagaan dan Industri Kementerian Pariwisata bersama Universitas Gajah Mada sejak April 2019.
“Tahap pertama dari proses pembuatan narasi cerita (storytelling dan interpretasi) Borobudur diawali dengan mengaji kembaliatribut penting/signifikansi yang dimiliki Borobudur, merangkai narasi dan trail yang terkait dengan atribut penting Borobudur dan sekitarnya dalam storyline, serta melakukan uji coba perjalanan narasi yang dimaksud,” ujar M. Sidiq koordinator tim peneliti storytelling yang diketuai Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc., Ph.D.
“Narasi dan pola perjalanan ini sudah kita ujicoba dua kali. Bulan Agustus lalu dengan tim Asisten Deputi Budaya dan Tim Percepatan, lalu dengan mahasiswa UGM, dan sekarang dengan para jurnalis jadi tiga kali,”ujar Sidiq yang menghitung rangkaian uji coba. Kali ini ia mengaku senang dapat berbagi kisah Storytelling Borobudur dengan awak jurnalis yang mengikuti familiarization trip dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Asisten Deputi Strategi dan Komunikasi Pemasaran I, Deputi Bidang Pemasaran I.
“Tim kami awalnya berproses meneliti aneka legenda di kawasan Borobudur dengan tim pertama dan melakukan proses interpretasi storyetelling dengan tim kedua untuk menghasilkan narasi dan pola perjalanan ini,”ujar Louie seorang sejarawan yang fasih menceritakan kisah relief Borobudur seperti kisah Sudhan – Manohara, Kinnara – Kinnari, Sasa Jataka dan lainnya.
Dua rute yang diujicobakan dalam kegiatan famtrip pada tanggal 13 November 2019 lalu. Pertama adalah pola perjalanan tematis yang mengangkat tema wellness tourism, yaitu membaca panel relief Ratu Maya menjelang mengandung sang Budha sedan dipijat dan tengah bermimpi didatangai seekor gajah putih, tak lama sang ratu pun mengandung jabang bayi Sidharta Gautama.
Tak lama berada di kawasan panel relief, tim peneliti mengajak peserta famtrip untuk mengunjungi Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Majaksingi untuk merasakan pengalaman terapi pemijatan yang dilakukan oleh para terapis lokal. Kedua adalah tema Skylor (Sky folklor folklor tentang angkasa) tentang hubungan sumbu imajiner antara Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Borobudur dengan pengetahuan lokal tentang astronomi. Ketiga candi tersebut dipercaya terletak pada garis imajiner tiga bintang rasi Orion (Alnitak-Alnilam-Mintaka) atau Waluku dalam pengetahuan astronomi lokal Jawa. Perjalanan dimulai sekitar pukul 15.00 dari Candi Mendut diakhiri dengan menikmati sunset di Candi Borobudur hingga sekitar pukul 18.15.
“Ini sudah masuk Storynomics. Storytelling dan storyline dalam bentuk perjalanan wisata dalam pola perjalanan ini diharapkan dapat mematangkan bentuk storyline yang memiliki nilai budaya yang unggul, unik, dapat diaplikasikan dalam sub sektor pariwisata yaitu wisata tematis, pemandu wisata, interpreter dari interpretative tour dan operator tur baik biro perjalanan wisata (BPW) maupun operator tur komunitas non BPW seperti komunitas heritage, desa wisata, kelompok sadar wisata/pokdarwis, dan lainnya. Storytelling penting untuk pemasaran produk pariwisata kita,” ujar Tendi Nuralam ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah Religi Seni Tradisi dan Budaya, Kemenparekraf/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada wawancara terpisah.
“Kami berharap storytelling dan pola perjalanan ini dapat memperkaya produk pariwisata yang berkualitas dan layak jual di kawasan Borobudur. Situs UNESCO harus punya produk yang unggul. Selain menyebar pengunjung supaya tidak terpusat di zona inti candi, ini ujungnya untuk pelestarian candi dan aktivasi kawasan. Caring capacity candi terjaga dan Balkondes (Balai Ekonomi Desa) di sekitar candi pun bisa hidup karena trail ini bicara soal relief dan hubungannya dengan kehidupan sosial di sekitar kawasan!” ujar Tendi.
"Ada beberapa masalah isu kesenjangan dan kemiskinan. Storytelling ini penting untuk menyebar kunjungan ke pelosok desa di Borobudur. Membuat narasi dan pola perjalanan di Borobudur kali ini adalah model kolaborasi dengan akademisi ini penting untuk menggali keakuratan narasi, sehingga storytelling dan produk pariwisata kita memang berbasis ilmu pengetahuan. Wisatawan milenial dan turis jaman sekarang ini cerdas, sudah tidak jaman lagi cerita katanya katanya,"pungkasnya.
Ya, storytelling bagian dari storynomics memang sedang menjadi tren saat ini. Padahal konsep interpretasi produk pariwisata ini telah berkembang sejak 20 tahun lalu. Namun, tak ada kata terlambat untuk mengembangkan interpretasi dan storytelling untuk model interpretatif tur untuk storynomics pariwisata Indonesia. Robert McKee dalam bukunya Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post-Advertising World menghubungkan adanya relasi storytelling dengan kesuksesan dalam bisnis, bagaimana branding dan konsumen semakin mesra dengan kekuatan narasi kisah penceritaan.
Tak pelak, branding pariwisata Indonesia pun perlu mengadaptasi konsep Storynomics untuk mendekatkan diri dengan calon-calon wisatawan potensial penambah devisa negara. Namun tugas Kemenparekraf tak hanya sampai pada storytelling. Koordinasi dengan pemangku kepentingan di kawasan Borobudur harus ditingkatkan untuk mengatasi pelbagai masalah di destinasi super prioritas jika ingin Borobudur dan kawasannya menuju arah pariwisata berkelanjutan.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR