Nationalgeographic.co.id - Indonesia saat ini tengah mendorong penerapan ekonomi sirkular sebagai salah satu wujud pendekatan pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Untuk itu dalam Acara Plastic Reborn #BeraniMengubah pada siang hari ini (05/12) bersama Kementerian Perindustrian Rizky Aditya Wijaya, dan Public Affairs and Communications Director PT. Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo membahas secara mendalam ekonomi sirkular dengan konsep kolaborasi melalui PRO (Packaging Recovery Organization).
Coca-Cola menyadari bahwa permasalahan sampah kemasan membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak. Berbagai program sudah dilakukan oleh Coca-Cola untuk bisa memahami permasalahan manajemen sampah, di tahun 2017 Coca-Cola mengumumkan visi dan misi “World Without Waste” sebagai komitmen dalam penyelesaikan permasalahan kemasan paskakonsumsi.
Baca Juga: Upaya Mengurangi Sampah Plastik dengan Daur Ulang Botol Plastik
Di Indonesia, Coca-Cola melakukan kolaborasi serta kajian untuk mendukung program pemerintah dalam menangani sampah kemasan diantaranya dengan melalui program Plastik Reborn 1.0 dan 2.0.
Public Affairs and Communications Director Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo, mengatakan “Dalam menjalankan visi World Without Waste, Coca-Cola Indonesia memiliki komitmen berkelanjutan terhadap bisnis yang dijalankan secara positif dan bertanggung jawab. Kami melihat kemasan paska konsumsi merupakan sumber daya bernilai tinggi yang memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan bagi Indonesia pada tahun 2030.”
Upaya mempercepat ekonomi sirkular diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik konsumen, masyarakat, pemerintah dan industri. Coca-Cola Indonesia, sebagai anggota Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE), menginisiasi Packaging Recovery Organization (PRO) untuk kolaborasi pengelolaan sampah yang berkelanjutan terutama sebagai salah satu solusi penanganan kemasan paska konsumsi di Indonesia.
Konsep PRO adalah sebuah pendekatan yang telah berhasil dilakukan di beberapa negara, baik negara berkembang ataupun negara maju, seperti misalnya di Meksiko, Afrika Selatan, dan Eropa.
PRO telah mampu menghubungkan rantai value chain dalam ekonomi sirkular dengan lebih efektif, sehingga dapat meningkatkan tingkat pengumpulan dan pendaur ulangan kemasan paska konsumsi. Seperti misalnya industri manufaktur akan memikirkan desain ulang kemasan agar lebih mudah untuk di daur ulang serta penerapan proses produksi yang lebih ramah lingkungan, penerapan insentif pada titik-titik dalam mata rantai pengumpulan kemasan paska konsumsi untuk meningkatkan pengumpulan, mendorong penguatan iklim investasi industri daur ulang serta regulasi pemilahan dan pengelolan Classified - Confidential sampah.
Bukan hanya itu, konsumen juga bertanggung jawab untuk mengembalikan kemasan paska konsumsi di tempat-tempat pemungutan sampah yang telah tersedia.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Triyono, dalam model ekonomi sirkular, plastik kemasan paska konsumsi di lihat sebagai material yang dapat digunakan berulang kali, baik melalui “closed loop” seperti dari botol menjadi botol kembali (RPET bottles) ataupun “open loop” dari botol menjadi berbagai bentuk lain seperti pakaian, sepatu, tas dan lain-lain.
KASUBDIT Industri Plastik dan Karet Hilir, Kementerian Perindustrian Rizky Aditya Wijaya, menjelaskan, “Kami mendukung inisiatif PRO sebagai model penanganan kemasan plastik paska konsumsi, kami melihat peluang pengembangan industri daur ulang plastik di Indonesia dinilai masih besar, mengingat daur ulang sampah rumah tangga masih berada di level 15,22%.”
Apabila kemasan plastik paska konsumsi dapat dikelola dengan baik dan dioptimalkan maka produksi daur ulang plastik bisa mencapai 2 juta ton per tahun dari kapasitas saat ini yaitu 1,3 juta ton.
Dengan daya serap 3,36 juta pekerja dari sektor informal seperti pemulung dan pengepul, industri daur ulang memiliki nilai tambah sebesar Rp 10,575 triliun per tahun dan dinilai mampu menggerakkan perekonomian negara sebagai salah satu jalan menuju ekonomi sirkular.
Baca Juga: Busa Putih Beracun Mencemari Pantai di India, Apa Bahayanya?
Di Indonesia, tantangan pengolahan kemasan paska konsumsi dimulai dari pengumpulan serta pemilahan/segregrasi di sampah rumah tangga. Berdasarkan indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 yang menyebut 72 persen orang Indonesia tidak peduli akan sampah. Sementara pertumbuhan infrastruktur dan industri daur ulang tidak sepadan dengan pertumbuhan konsumsi dan pembangunan ekonomi. Sehingga diperlukan kerjasama dari semua pemangku kepentingan, baik masyarakat, industri dan pemerintah untuk berkolaborasi dalam pengolahan kemasan plastik paska konsumsi (ESR – Extended Stakeholders Responsibility).
Model PRO memberikan peluang ekonomi sirkular yang lebih baik dengan membangun dan mengoptimalkan sistem daur ulang saat ini yang artinya inklusif dari sektor informal, meningkatkan kualitas daur ulang dan mendukung partisipasi yang lebih besar.
“Sebagai industri, harapan kami pemerintah melalui regulasi dapat mendorong partisipasi aktif para pelaku persampahan di setiap daerah untuk memulai langkah kecil mewujudkan PRO dalam konteks Indonesia agar dapat mendukung pencapaian agenda nasional terkait pengurangan dan penanganan sampah,” tutup Triyono Prijosoesilo.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR