Nationalgeographic.co.id – Valentine disebut-sebut sebagai hari penuh cinta. Pada 14 Februari, tidak seperti hari biasanya, pasangan romantis akan saling menghujani dengan hadiah dan apresiasi. Kartu ucapan, cokelat, dan bunga mawar, kerap menjadi ‘simbol’ hari kasih sayang ini.
Meski begitu, sejarah hari Valentine masih menjadi misteri. Apakah ia terinspirasi oleh sebuah pesta, eksekusi, atau puisi? Para sejarawan masih belum yakin. Berikut beberapa kisah yang disebut-sebut melatarbelakangi Hari Valentine:
Dikaitkan dengan Lupercalia
Kisah paling awal yang mungkin mendasari Hari Valentine adalah hari libur penganut pagan yaitu Lupercalia. Diselenggarakan berabad-abad lalu di pertengahan Februari, Lupercalia dimaksudkan untuk merayakan kesuburan.
Para pria akan telanjang dan mengorbankan kambing serta anjing. Remaja laki-laki kemudian akan mengambil potongan kulit dari hewan yang dikurbankan dan menggunakannya untuk mencabuk perempuan muda agar mereka subur.
Baca Juga: Dewa dan Dewi Cinta dari Berbagai Kebudayaan di Penjuru Dunia
Lupercalia sangat populer dan banyak yang mengatakan bahwa perayaan ini memiliki sedikit kesamaan dengan Hari Valentine di dunia modern. Memang benar Hari Valentine menggunakan beberapa simbol Lupercalia--seperti warna merah yang mewakili pengorbanan darah selama Lupercalia dan warna putih yang menandakan susu yang digunakan untuk membersihkan darah dan mewakili kehidupan dan kelahiran baru.
Lupercalia sendiri diperingati hingga 150 tahun kemudian, bahkan setelah agama Kristen dilegalkan di Kekaisaran Romawi.
Namun, ketika Paus Gelasius berkuasa di akhir abad kelima, ia mengakhiri Lupercalia.
Siapakah Santo Valentine?
Tak lama kemudian, gereja mengumumkan bahwa 14 Februari menjadi hari perayaan Santo Valentine yang mati syahid. Tidak jelas siapa yang dimaksud, mengingat pada masa itu, ada 30 yang bernama Valentine dan Valentina di antara 10.800 santo.
Meski begitu, ada dua Valentine yang sangat menonjol. Namun, mereka tidak ada kaitannya dengan cinta.
Keduanya merupakan martir yang dihukum mati oleh Kaisar Romawi, Claudius, pada abad ke-3. Mereka diketahui sama-sama mati di tanggal 14 Februari, meski tahunnya berbeda.
Valentine pertama merupakan seorang pendeta yang ditangkap pada masa penganiayaan Romawi terhadap orang-orang Kristen. Ketika dibawa ke hadapan kaisar, Valentine menolak untuk melepaskan keyakinannya sehiingga ia ditahan di sebuah rumah. Kepala petugas keamanan menantang pendeta tersebut untuk menunjukkan kekuatan Tuhan dan ia pun mengembalikan penglihatan gadis muda yang buta. Melihat hal tersebut, semua penghuni rumah tahanan ikut memeluk agama Kristen. Ketika berita ini sampai ke Kaisar, Valentine pun dihukum mati.
Pendeta kedua, Uskup Valentine dari Terni juga dikenal dengan ‘mukjizat’-nya. Ia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit. Seorang terpelajar pernah meminta Valentine mengobati anaknya yang tidak bisa berbicara dan meluruskan tubuhnya.
Setelah berdoa semalaman, Valentine berhasil menyembuhkan anak tersebut dan keluarganya akhirnya masuk agama Kristen.
Tak lama kemudian, Valentine ditangkap. Setelah menolak menganut paganisme oleh Kekaisaran Romawi, ia dipenggal.
Berkembang lewat syair
Hari Valentine sendiri tidak dikaitkan dengan sesuatu yang romantis hingga ribuan tahun selanjutnya. Jack B. Oruch, profesor di University of Kansas, menyatakan bahwa penyair Geoffrey Chaucer merupakan orang pertama yang menghubungkan Hari Valentine dengan romansa melalui puisinya yang berjudul The Parlement of Foules.
Menurut Oruch, Chaucer mungkin menghubungkan Hari Valentine dengan hal romantis karena Februari merupakan waktu di mana burung-burung Eropa mulai kawin.
Baca Juga: Sulawesi Utara, Provinsi dengan Penduduk Paling Romantis di Indonesia
Selanjutnya, penyair-penyair lain, seperti Shakespeare, mulai mengikuti langkah Chaucer dan membantu menciptakan konotasi romantis pada Hari Valentine seperti yang kita lihat hingga saat ini.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR