Nationalgeographic.co.id - Musik klasik merupakan hal yang masih dekat dengan kita sampai hari ini. Beberapa orang mungkin mendengarnya saat makan malam di restoran bahkan nada ringtone dari telepon genggam.
Kita tak bisa tutup mata bahwa sejarah bisa membentuk persepsi kita terhadap musik klasik. Jika tidak ada catatan sejarah maka kita tidak bisa memperdebatkan siapa yang paling hebat antara Mozart dan Salieri. Lebih jauh lagi, bagaimana kita memaknai musik klasik barat saat ini.
Sebuah pemahaman tentu ada “akarnya” terlebih khusus soal musik klasik. Itulah yang disampaikan oleh Aniarani Andita, seorang kandidat PhD di bidang Musik dari Royal Holloway, University of London.
Sebagai akademisi ia banyak terpengaruh oleh teori-teori paska kolonial. Membuatnya ingin mengupas dampak kolonialisme dengan mempertanyakan, menantang, dan membebaskan diri dari konstruksi politis dan filosofis yang diciptakan oleh kolonialisme itu sendiri.
Karena kolonialisme tak selalu bebicara soal saling jajah menjajah antar negara. Tapi juga tentang dominasi pengetahuan dan pemikiran dari satu pihak yang lebih kuat.
Atas dasar pemikiran di atas maka Aniarani sedang mengerjakan studi nya tentang sejarah pertunjukan musik klasik Barat untuk publik di Batavia, Bandung, dan Yogyakarta. Yakni yang terekam dalam koran-koran yang terbit di kota tersebut sejak awal abad ke-19.
Judul-judul koran yang menjadi bahan penelitianya diantaranya adalah Javasche Courant, Java-bode, Bataviaasch handelsblad, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, De preanger-bode, dan De locomotief.
Baca Juga: vivo Gelar Potrait Photo Competition Bertajuk ‘Perfect Night Perfect You’
Aniarani mengungkapkan bahwa dalam arsip-arsip temuan informasinya yang paling lengkap adalah tentang Batavia karena menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Semua arsip koran yang ia teliti pun tersedia untuk publik dalam bentuk digital. Tepatnya di laman binaan perpustakaan nasional (Koninklijke Bibliotheek) Belanda.
Sampai saat ini, Aniarani sudah mencatat sekitar 2600 event pertunjukan musik klasik Barat di Batavia, Bandung, dan Yogyakarta pada awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Penelitian ini ialah work-in-progress studi S3 nya yang direncanakan selesai pada tahun 2021.
Sebelumnya memang ada beberapa studi yang telah meneliti sejarah masuknya musik klasik ke Hindia Belanda. Seperti disertasi Franki Raden (2001) yang mengupas sejarah masuknya musik klasik ke Hindia Belanda sejak abad ke-16 oleh para misionaris Katolik yang membawa musik- musik liturgi.
Sejarah Masuknya Pertunjukan Musik Klasik ke Hindia Belanda
Melalui arsip-arsip koran yang diteliti oleh Aniarani, pertunjukan musik klasik Barat dimulai oleh grup opera dari Perancis yang tampil Schouwburg, Batavia (Théâtre de Batavia, sekarang Gedung Kesenian Jakarta) pada tahun 1835. Kemudian disusul oleh penampilan grup lainya terutama dari Perancis dan Italia.
Sampai pada akhir 1840-an, pertunjukan di Théâtre de Batavia tidak hanya penampilan opera saja namun bercampur dengan genre lain seperti vaudeville dan ballet-pantomime. Akan tetapi sejak tahun 1850 pertunjukan-pertunjukan di sana mulai di dominasi oleh opera saja.
Baca Juga: Raffles Meresmikannya, Kita Membongkarnya
Penampilan opera di Théâtre de Batavia ialah yang lazim dimainkan di Eropa kala itu. Misalnya opera-opera karya Donizetti (e.g. La favorite, La fille du regiment, Verdi (Un ballo di maschera/Le trouvere (Il trovatore), Rigoletto), dan Offenbach (La Grande-Duchesse de Gerolstein, La Périchole, Genevieve de Brabant).
Bahkan beberapa opera ditampilkan di Batavia tak lama setelah pertunjukan perdana di Eropa. Seperti misalnya opera karya Auber Les diamants de la couronne (dipertunjukan perdana tahun 1841, dipertunjukkan di Batavia tahun 1842) dan karya Donizetti La favorite (dipertunjukkan perdana tahun 1840, dipertunjukkan di Batavia tahun 1845).
Pertunjukkan di Théâtre de Batavia memang terbuka untuk publik yang mampu membayar. Namun masih diragukan apakah hal itu termasuk penduduk lokal/pribumi atau kalangan Eropa saja. Pasalnya, pada tahun 1868, terdapat sebuah pertunjukan di Théâtre de Batavia yang diiklankan dalam Bahasa Melayu. Padahal umumnya, iklan pertunjukan menggunakan Bahasa Perancis.
Pertunjukan itu jelas ditujukan bagi kalangan non-Eropa dengan tajuk iklan seperti “(…) Toewan-toewan Hadji, Arab, dan Tjina.”
Melalui hal tersebut Aniarani mengindikasikan bahwa pertunjukan-pertunjukan lain tidak diperuntukan untuk masyarakat non-Eropa. Namun, yang menarik bahwa pertunjukan non-Eropa pun diperuntukan untuk kalangan yang sejahtera.
Karena kalangan masyarakat Arab dan Cina di Batavia pada abad ke-19 adalah yang paling sejahtera di antara kalangan non-Eropa (Leonard Blussé, 2017).
Selain itu, Aniarani belum yakin apakah penduduk lokal yang tidak termasuk kalangan sejahtera bisa menikmati musik klasik atau tidak.
“Sejauh ini, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa pertunjukkan-pertunjukkan ini dapat dinikmati secara bebas oleh penduduk lokal. Jika ada, kemungkinan sangat sedikit, dan kemungkinan hanya penduduk lokal yang berkedudukan bangsawan (seperti keluarga Kraton di Yogyakarta) atau penduduk lokal yang menikahi pria Belanda/Eropa, karena mereka otomatis mendapat status sosial yang setara dengan orang Belanda/Eropa,” ucapnya pada wawancara eksklusif bersama National Geographic Indonesia.
Baca Juga: Schumanniade, Gempita Sang Maestro Romantik di Jantung Jakarta
Pementasan musik klasik Barat di Batavia nampaknya tidak terjadi hanya di Théâtre de Batavia saja. Sebagian besar lainya diadakan oleh dan untuk klab-klab social (societeit) elit seperti Societeit Harmonie dan Militaire Societeit Concordia.
Societet seperti itu memang dikhususkan bagi keanggotaan dengan kebangsaan Belanda dan Eropa, atau yang berstatus seperti orang Eropa.
Penampilan di Bandung pun demikian yakni di Societeit Concordia, yang berdiri pada tahun 1879. Serta di Yogyakarta di Klab De Vereeniging yang berdiri pada 1822 dan Musis Sacrum pada 1894.
Selain penampilan musik klasik professional, di Batavia juga ada komunitas musik amatir bernama Maatschappij van Toonkunst dan Liedertafel Aurora yang didirikan pada 1840an.
Komunitas itu rutin menggelar pertunjukan musik klasik kepada anggotanya yang terdiri dari orang Belanda, Eropa, dan yang berstatus seperti orang Eropa.
Karena keaktifan pertunjukan- pertunjukan itu maka musik klasik di Batavia pun mencapai popularitasnya. Terutama pada tahun 1850an sampai 1870an.
Namun pagelaran musik klasik tak hanya terbatas di klab, Stafmuziek misalnya sebuah korps musik militer Belanda juga kerap menggelar pertunjukan di tempat public seperti di Waterlooplein, yang sekarang menjadi Lapangan Banteng.
Hingga awal abad ke-20, pertunjukan musik klasik masih sangat aktif tepatnya pada 1920-an. Yakni perkumpulan musik klasik di Batavia bernama Muziekverbond yang rutin menggelar pertunjukkan seperti “malam musik kamar” (kamermuziek-avond) khusus untuk para anggotanya, dan juga volksconcert atau konser untuk “rakyat”.
“Lagi-lagi, patut dipertanyakan apakah yang dimaksud “volks” di sini termasuk penduduk lokal,” kata Aniarani.
Framing dan Perdebatan Surat Kabar Hindia Belanda Soal Musik Klasik Abad 19
Surat kabat pada abad ke-19 di Hindia Belanda diterbitkan oleh orang Belanda dan Eropa. Isi berita yang dimuat pun menggunakan sudut pandang mereka. Terlebih khusus pada musik klasik, koran-koran seperti di Batavia kerap memuat ulasan pertunjukan musik klasik di Batavia. Seperti mengomentari kualitas penampilan orkestra dan para musisi. Tak terkecuali para penyanyi yang tampil di pertunjukan beberapa hari sebelumnya.
Penelitian Aniarani juga menemuka beberapa tema diskusi musik klasik Barat di Batavia melalui surat kabar yang ditemukanya. Misalnya, pada 1872-1874 dimana sedang tidak adanya pertunjukan opera di Batavia.
Kala itu terdapat disuksi menarik yakni apakah di Batavia membutuhkan pertunjukan opera? Sebuah artikel di koran Java-bode pada Juni 1872 berargumen bahwa pertunjukkan opera bermanfaat bagi publik di Batavia.
Akan tetapi, artikel lain pada bulan yang sama justru membantah hal tersebut. Ia mengatakan bahwa hiburan yang cocok di Batavia ialah seperti pasar malam di Belanda yaitu kermis, isinya pertunjukan akrobat dan sulap.
Penulis artikel itu yakin bahwa hiburan seperti itu lebih cocok karena dapat menggaet masyarakat yang tak cakap music atau memiliki pengetahuan cukup mengenai bahasa Italia, Inggris, Prancis, atau Jerman.
Perdebatan selanjutnya juga terdapat di musik klasik yang “ringan” dengan musik klasik yang “asli” atau “betulan”. Musik klasik “betulan” dianggap sulit untuk dinikmati.
Musik klasik yang “ringan” contohnya seperti yang ditampilkan di opera Schouwburg. Sedangkan “betulan” seperti yang disajikan oleh Maatschappij van Toonkunst, karena tujuan didirikanya grup ini ialah untuk mempromosikan true art yang diwujudkan dengan pemilihan repertoar musik klasik yang dianggap “betulan”. Seperti karya simfoni.
Namun karena hal tersebutlah Maatschappij van Toonkunst malah kehilangan jumlah anggota grupnya pada tahun 1860an.
Selera Musik Hindia Belanda & Pengaruh Pertunjukan Musik Klasik Abad 19
Sulit dipastikan bagaimana selera musik masyarakat pada abad 19 di Hindia Belanda sebelum masuknya musik klasik.
Aniarani pun juga belum menemukan catatan penelitian yang menjelaskan hal tersebut. Namun menurutnya praktik bermusik klasik sudah ada sebelum grup opera masuk ke Batavia.
“Yang saya tahu, praktek bermusik klasik sudah ada sejak sebelum datangnya grup opera ke Batavia di tahun 1830an. Beberapa tuan tanah tercatat memiliki budak-budak yang dilatih untuk menjadi musisi, dan dibentuk menjadi sebuah orkes kecil untuk menghibur tuan tanah dan tamu-tamunya di rumah mereka (Franki Raden, 2001),” ujar Aniarani.
Kemudian, dia menjelaskan bahwa sulit untuk menjawab siapa saja grup atau solois Barat yang populer di Hindia Belanda. Sebab secara umum, penyanyi-penyanyi di grup opera yang tampil di Schouwburg sering mendapat ulasan yang baik dari publik Batavia.
Akan tetapi, terdapat pula solois Eropa terkemuka yang pernah mampir di Hindia Belanda, seperti soprano Inggris Catherine Hayes, yang tampil di Batavia pada tahun 1855, dan juga di Singapura dan Melbourne, Australia di tahun yang sama.
Kemudian, mengenai sejarah pertunjukan musik klasik di Hindia Belanda pada awal abad 19-20 dan keterkaitanya pada generasi kedepan Aniarani masih berusaha menggali data dan pendapat terkait hal tersebut.
Ariana pernah mengadakan pameran pada 21 Februari 2020 di foyer Usmar Ismail Hall, Jakarta saat konser Jakarta Concert Orchestra "Malam Tchaikovsky”. Materi pameran menyampaikan work in progress hasil penelusuran arsip koran-koran yang terbit di Hindia Belanda.
Informasi yang diberikan kaya akan pertunjukan musik klasik barat di tiga kota yakni Batavia, Bandung, dan Yogyakarta. Informasi itu juga mencakup frekuensi, tipe, repertoar, lokasi, audiens pertunjukan-pertunjukanya.
Pameran dilangsungkan untuk memberikan wawasan mengenai sejarah pertunjukan musik klasik di Hindia Belanda. Juga bagaimana sejarah memengaruhi kita dalam memahami dan mempraktikan musik klasik Barat saat ini.
Source | : | Wawancara Eklsusif Aniarani Andita |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR