Nationalgeographic.co.id - Planet es raksasa di Tata Surya, Uranus dan Neptunus, belum pernah dikunjungi selama lebih dari 30 tahun. Meski begitu, lewat data yang diperoleh dari pesawat ruang angkasa tak berawak, Voyager 2, para ilmuwan telah menemukan rahasia baru tentang atmosfer Uranus.
Setiap planet di Tata Surya yang memiliki atmosfer, 'membocorkan' sebagian lapisannya ke ruang angkasa. Dan medan magnet di setiap planet punya peran di dalamnya.
Mars kehilangan sebagian besar atmosfer padatnya, sementara Bumi mempertahankan atmosfernya dengan baik. Jupiter dan Saturnus, di sisi lain, mengirim gumpalan plasma ke luar angkasa. Kini, berdasarkan studi terbaru, para ilmuwan memprediksi Uranus dapat melakukan hal yang sama.
Baca Juga: Peneliti Temukan Dua Jenis Air dari Sumber Berbeda di Planet Mars
Dalam jurnal yang dipublikasikan pada Geophysical Research Letters, Gina DiBraccio dan Dan Gershman meninjau kembali data dari Voyager 2. Mereka menganalisa pembacaan magnetometer dari kapal Voyager 2, menyusun data yang lebih tertata dari sebelumnya.
Berdasarkan analisis tersebut, terungkap bahwa dalam studi Uranus yang berlangsung selama 45 jam, ada sinyal magnetik yang aneh dengan durasi 60 detik. Tim percaya bahwa mereka mendeteksi plasmoid.
Plasmoid adalah struktur plasma dan medan magnet yang koheren, gumpalan partikel bermuatan hidrogen terionisasi. Yang terdeteksi oleh Voyager adalah plasmoid yang memiliki bentuk silinder, berukuran 204 ribu hingga 400 ribu kilometer. Bentuk medan magnet di plasmoid menunjukkan bahwa itu berasal dari atmosfer.
Baca Juga: Juli Mendatang, NASA Akan Luncurkan Helikopter ke Planet Mars
Sulit untuk menentukan seberapa penting mekanisme ini bagi hilangnya atmosfer global Uranus karena hanya didasarkan pada satu set data. Tim memperkirakan bahwa ejeksi plasmoid dapat menyebabkan 15-55 persen atmosfer planet tersebut yang lepas ke luar angkasa.
Meski begitu, karena kurangnya data, ini tetap menjadi pertanyaan. Para peneliti mengatakan, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahuinya.
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Aditya Driantama H |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR